.................................., ................................
Nomor : .................................................
Lampiran : -
Perihal : Permohonan PraPeradilan
Kepada Yth :
KETUA PENGADILAN NEGERI .................................
Di_
.................................................
Dengan Hormat,
Yang bertanda tangan dibawah ini:
................................................., S.H. Adalah Para Advokat dan Penasehat Hukum pada Law Firm ................................................. beralamat di .................................................. Berdasarkan Surat Kuasa Khusus No.: ................................................. tanggal ................................................. (Terlampir), baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri, Sebagai Kuasa Hukum Bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa:
Nama : .................................................
Tempat/Tanggal Lahir : .................................................
Jenis Kelamin : .................................................
Pekerjaan : .................................................
Alamat : .................................................
N.I.K. : .................................................
Yang dalam hal ini memilih domisili hukum di kantor kuasanya, dan selanjutnya disebut sebagai================================================ PEMOHON
Pemohon dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan berkenaan dengan Surat Perintah Penyidikan Nomor: ................................................. tanggal ................................................. atas Surat Panggilan Saksi Kepolisian/Kejaksaan ................................................. Nomor: ................................................. tanggal ...................... (Tingkat Penyidikan) Kepala Kepolisian/Kejaksaan Nomor: ................................................. tanggal ...................... dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan Nomor ................................................. tanggal ................................................. yang menetapkan PEMOHON sebagai TERSANGKA dan melakukan PENAHANAN PEMOHON oleh TERMOHON terkait Peristiwa tindak pidana korupsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsidair Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melawan:
KEPALA KEPOLISIAN/KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA Cq. ................................................. yang beralamat di .................................................. Selanjutnya disebut sebagai================================TERMOHON
Adapun yang menjadi dasar hukum dan alasan dari diajukannya Permohonan Praperadilan ini adalah sebagai berikut:
A. DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN
1. Bahwa Kesungguhan pranata Prapradilan yang diatur dalam Bab X Bagian Kesatu KUHAP dan Bab XI Bagian Kesatu KUHAP merupakan sarana untuk mengawasi secara horizontal terhadap penggunaan wewenang oleh aparat penegak hukum ( i.c Penyelidik, Penyidik dan Penuntut Umum). Dalam hal Kewenangan yang dilaksanakan secara berlebihan dan secara sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum, dengan maksud atau tujuan lain di luar dari yang ditentukan secara tegas dalam KUHAP, maka pengujian atas keabsahan penggunaan dari kewenangan tersebut dilakukan melalui Pranata Praperadilan, guna menjamin perlindungan terhadap hak asasi setiap warga negara In Casu PEMOHON;
2. Bahwa untuk menguji keabsahan penetapan status tersangka In Casu PEMOHON adalah untuk menguji tindakan-tindakan penyidik itu apakah bersesuaian dengan norma/ketentuan dasar mengenai penyidikan yang termuat dalam KUHAP, mengingat penetapan status tersangka dan penahanan adalah “KUNCI UTAMA” dari tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum (ic. Penyelidik,Penyidik dan Penuntut Umum) berupa upaya Paksa, baik berupa Pencegahan, Penggeledahan, Penyitaan maupun Penahanan. Dengan kata lain, adanya status tersangka itu menjadi alas hukum bagi aparat penegak hukum (ic. Penyelidik,Penyidik dan Penuntut Umum) untuk melakukan suatu upaya paksa terhadap seseorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan. Artinya, seseorang tidak dapat ditangkap atau ditahan atau dilakukan pencegahan maupun Penyitaan tanpa adanya keadaan menyangkut status seseorang itu telah ditetapkan sebagai Tersangka dan Penahanan Tersangka;
3. Bahwa pengujian keabsahan penetapan tersangka dan penahanan melalui pranata Praperadilan, karena Penetapan sebagai Tersangka dan Penahanan Tersangka ini adalah dasar hukum untuk dapat dilakukannya Upaya paksa terhadap seorang warga negara yang merupakan bagian dari rangkaian tindakan penyidik dalam proses penyidikan, sehingga pranata hukum yang berwenang menguji dan menilai keabsahan “Penetapan Tersangka dan Penahanan Tersangka” adalah Praperadilan;
4. Bahwa dalam praktek peradilan, hakim telah membuat putusan terkait penetapan tersangka sebagai objek praperadilan, antara lain:
I) Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor : 04/Pid/Prap/2014/PN.Jkt.Sel, tanggal 16 Februari 2015, dengan amar putusan, antara lain:”menyatakan Penetapan Tersangka atas diri PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON adalah tidak sah”; “ Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh TERMOHON yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON”;
II) Putusan Praperadilan dalam perkara Nomor: 36/Pid/Prap/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 26 Mei 2015, dengan amar putusan, antara lain, “Menyatakan Penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON berkenaan dengan peristiwa Pidana sebagaimana dinyatakan dalam penetapan sebagai tersangka terhadap diri Pemohon yang diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidan Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 JIS Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP adalah tidak sah oleh karenanya penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan oleh karena itu diperintahkan kepada TERMOHON untuk menghentikan Penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SprinDIK-17/01/04/2014 tanggal 21April 2014; “Menyatakan menurut hukum tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka yang melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor : SprinDIK-17/01/04/2014 adalah tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya Penetapan Tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”;
III) Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 67/PID.PRAP/2015/PN.Jkt.Sel yang memaknai sama “Menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohon menyatakan Tidak sah menurut Hukum Tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka”;
IV) Pra Peradilan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor : 09/Pid/Pra/2015/Pn.Jkt.Brt Tanggal 18 November 2015 yang memaknai “Menyatakan Surat Perintah Penyidikan : Sprindik/418/IV/2013, tanggal 1 April 2013 yang menetapkan Pemohon sebagai tersangka oleh Termohon terkait peristiwa Pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan adalah TIDAK SAH dan Tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penetapan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat dan Menyatakan Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Penetapan tersangka terhadap diri Pemohon sebagaimana dimaksud pada Pasal 378 KUHP tentang Penipuan dan atau Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan adalah TIDAK SAH dan Tidak berdasar atas hukum, dan oleh karenanya Penyidikan a quo tidak mempunyai kekuatan mengikat”
5. Bahwa sarana Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 77 s/d 83 KUHAP harus dimaknai dan diartikan sebagai wadah untuk menguji perbuatan hukum yang akan diikuti upaya paksa oleh penyidik atau penuntut umum, karena pada dasarnya tuntutan Praperadilan adalah untuk menguji sah atau tidaknya perbuatan hukum yang dilakukan oleh penyelidik, Penyidik atau penuntut umum di dalam melakukan Penyidikan atau penuntutan atau penahanan sebagaimana yang dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015;
6. Bahwa dengan memperhatikan praktek peradilan melalui putusan Praperadilan atas Penetapan Tersangka dan Penahanan Tersangka tersebut di atas serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, yang berbunyi, “ Oleh karena Penetapan Tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak asasi manusia maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik merupakan objek yang dapat dimintakan perlindungan melalui ikhtiar hukum pranata praperadilan. Hal tersebut semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang kemungkinan besar dapat terjadi ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka dan Penahanan merupakan tindakan atas ditetapkannya status tersangka kepada seseorang sampai memperoleh Putusan yang berkekuatan hukum tetap, padahal dalam prosesnya ternyata ada kekeliruan maka tidak ada pranata lain selain pranata Praperadilan yang dapat memeriksa dan memutusnya. Namun demikian, perlindungan terhadap hak Tersangka tidak kemudian diartikan bahwa tersangka tersebut tidak bersalah dan tidak menggugurkan dugaan adanya kaidah hukum yang berlaku secara ideal dan benar dan sejalan dengan hal tersebut atas Penahanan terhadap seseorang yang telah dilakukan oleh penegak hukum telah merampas kemerdekaan seseorang tersebut yang ditahan apabila seseorang tersebut tidak bersalah mengakibatkan waktu yang telah dibuang selama ditahan tidak bisa digantikan. Dimasukkannya keabsahan penetapan tersangka dan penahanan sebagai objek pranata praperadilan adalah agar perlakuan terhadap seseorang dalam proses pidana memperhatikan tersangka sebagai manusia yang mempunyai harkat, martabat dan kedudukan yang sama di hadapan hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, menurut Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Penetapan Tersangka dan Penahanan Tersangka menjadi objek yang diadili oleh pranata praperadilan adalah beralasan menurut hukum (PUTUSAN MK hal 105-106), maka cukup alasan hukumnya bagi PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai tersangka dan Penahanannya melalui Praperadilan;
7. Bahwa Merujuk Pasal 79 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh Tersangka, Keluarga atau Kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya”;
8. Bahwa merujuk amar Putusan Mahkmah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, yang berbunyi antara lain:
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan;
Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, Penggeledahan, dan Penyitaan;
Maka menjadi jelas dan teranglah bahwa Penetapan Tersangka menurut hukum adalah merupakan Objek Praperadilan;
Bahwa PEMOHON telah di tetapkan sebagai Tersangka dan dilakukan Penahanan oleh TERMOHON berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: ................................................. tanggal ................................................. atas Surat Panggilan Saksi Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. In Casu TERMOHON Nomor: ................................................. tanggal ................................................., kemudian TERMOHON melakukan Penahanan terhadap PEMOHON dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. Nomor ................................................. tanggal .......... yang diberitahukan dalam Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor: ................................................. tanggal ................................................. terkait Peristiwa dugaan pidana Korupsi atas menerima ................................................. sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsidair Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
9. Bahwa mendasari substansi pada poin 8 diatas mengenai frasa, maka PEMOHON menjelaskan sebagai berikut:
a. Tindakan lain dalam hal ini menyangkut pelaksanaan wewenang penyidik In Casu TERMOHON diantaranya berupa penahanan, penggeledahan, penyitaan, maupun menetapkan seseorang menjadi Tersangka;
b. Penetapan seseorang sebagai Tersangka dan Penahanan In Casu PEMOHON, khususnya dalam perkara tindak pidana Korupsi, lebih khusus lagi yang prosesnya dijalankan oleh Kepolisian/Kejaksaan ............ (ic.TERMOHON), akan menimbulkan akibat hukum berupa terampasnya hak maupun harkat martabat seseorang in casu PEMOHON;
c. Bahwa dengan ditetapkannya seseorang menjadi Tersangka dan melakukan Penahanan in casu PEMOHON tanpa melalui prosedur hukum yang benar sebagaimana ditentukan dalam KUHAP, maka nama baik dan kebebasan seseorang in casu PEMOHON telah dirampas;
d. Bahwa tindakan TERMOHON yang cacat yuridis sebagaimana yang dimaksud huruf b diatas dibuktikan dengan perkara a quo yang diawali dengan tindakan yuridis berupa penetapan Tersangka yang kemudian dilakukan Penahanan terhadap PEMOHON dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. Nomor: ................................................. tanggal ....................... dan dilakukan Penahanan terhadap PEMOHON berdasarkan Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor: ................................................. tanggal .......... dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. Nomor ................................................. tanggal ........ dan tidak ada dasar atas Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. Nomor: ................................................. tanggal ......................... yang serbelumnya TERMOHON gunakan dalam memeriksa PEMOHON sebagai Saksi. Lalu, kemudian dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON sebagai Tersangka dan dilakukan Penahanan dikarenakan PEMOHON diduga telah melakukan tindak pidana korupsi atas menerima ................................................., yang diduga mengakibatkan Kerugian Negara;
e. Bahwa TERMOHON telah melakukan penahanan atau sita atas sebuah mobil ............................. warna ...... dengan No.Polisi ............ milik PEMOHON dan TERMOHON tidak memberikan salinan dari penahanan atau penyitaan mobil milik PEMOHON tersebut. Hal tersebut jelas telah merugikan PEMOHON karena PEMOHON tidak memiliki bukti bahwasanya mobil .................. warna ......... dengan No.Polisi .................. milik PEMOHON tersebut berada di TERMOHON sesuai dengan saat ditahan atau disita oleh TERMOHON;
10. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yang amarnya berbunyi :
“menyatakan bahwa Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”
Bahwa merujuk pada Poin 11 diatas, PEMOHON tidak pernah diberitahukan oleh penyidik in casu TERMOHON mengenai Surat Perintah Dimulainnya Penyidikan atas diri PEMOHON yang seharusnya PEMOHON sebagai Pelapor dalam perkara a quo wajib diberitahukan paling lambat 7(tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah dimulainnya penyidikan oleh Penyidik in casu TERMOHON, akan tetapi TERMOHON tidak pernah memberikan Surat tersebut sebagaimana amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 tersebut. Hal ini jelas mengakibatkan kerugian terhadap PEMOHON dan jelas TERMOHON dalam menetapkan status PEMOHON sebagai Tersangka dan melakukan Penahanan terhadap diri PEMOHON tidak sesuai dengan prosedur yang ada didalam KUHAP pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017;
11. Bahwa PEMOHON diberikan sejumlah uang sebesar ................................................. dari sdr. ................................................. yang diberikan secara ikhlas dan sukarela dan tidak ada paksaan apapun sebagaimana Surat Pernyataan tanggal 15 Oktober 2017 atas jual-beli tanah milik ................................................. yang sekarang menjadi lokasi ................................................. dan atas pemberian uang tersebut PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka dan di Tahan oleh TERMOHON karena diduga telah melakukan dugaan tindak pidana korupsi yang diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara;
Bahwa merujuk pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwasanya Tindak Pidana Korupsi merupakan Tindak Pidana Koorporasi atau tindak pidana yang terdiri dari sekumpulan orang yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Namun, dalam hal ini TERMOHON menduga pelaku dari tindak pidana korupsi hanyalah PEMOHON seorang diri saja atau Tunggal dan bukan tindakan beberapa orang;
12. Bahwa sangat mengherankan sekali tindakan hukum TERMOHON yang menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dan melakukan Penahanan terhadap PEMOHON saja karena diduga telah melakukan tindak pidana korupsi, sedangkan sebagaimana intisari dari Pengertian Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah kejahatan yang dilakukan oleh sekumpulan orang dan bukan oleh seseorang saja;
13. Bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, sangatlah beralasan dan cukup alasan hukumnya bagi PEMOHON untuk mengajukan Permohonan Praperadilan kehadapan Hakim, sebab yang dimohonkan oleh PEMOHON untuk diuji oleh Pengadilan adalah berubahnya status PEMOHON, dilanggarnya hak asasi PEMOHON akibat tindakan TERMOHON yang dilakukan tidak sesuai prosedur yang ditentukan oleh Hukum Acara Pidana dalam hal ini KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Oleh karenanya Permohonan PEMOHON untuk menguji keabsahan penetapan PEMOHON sebagai TERSANGKA dan PENAHANAN PEMOHON oleh TERMOHON melalui Praperadilan adalah sah menurut hukum;
B. ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
B.1. Fakta-Fakta
1. Hal ini menerangkan kronologis perkara yang dialami oleh Pemohon.
B.2. TENTANG HUKUMNYA
1. Bahwa PEMOHON ditetapkan sebagai Tersangka oleh TERMOHON dan dilakukan Penahanan oleh TERMOHON berdasarkan Bukti Permulaan yang Cukup sebagaimana yang ada didalam Surat Panggilan Saksi Nomor: ................................................. jo Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor : ................................................. tanggal .......................... dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. (IC. TERMOHON);
2. Bahwa PEMOHON sejak mulai diperiksa oleh TERMOHON, belum pernah PEMOHON diberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan oleh TERMOHON. Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 yang amarnya berbunyi :
Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang frasa “Penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai “Penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan;
Bahwa tindakan TERMOHON yang tidak pernah memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada PEMOHON sebagai Terlapor pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor : 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017, mengakibatkan serangkaian Penyidikan yang dilakukan oleh TERMOHON mengandung CACAT FORMIL karena tidak sesuai prosedur dengan ketentuan peraturan yang ada. Maka, status Tersangka dan Penahanan PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON menjadi tidak sah dan batal demi hukum;
3. Bahwa merujuk amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 terkait Norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, maka terhadap penetapan PEMOHON sebagai Tersangka oleh TERMOHON ini muncul pertanyaan :
Kapan TERMOHON memperoleh minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana yang termuat dalam Pasal 183, 184 KUHAP, dan Siapa Pemberi Aliran Dana yang dijadikan dasar oleh TERMOHON untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka dan melakukan Penahanan terhadap PEMOHON ?
4. Bahwa untuk menjawab pertanyaan diatas, maka terhadap tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangkan dan melakukan Penahanan terhadap PEMOHON harus diuji dengan norma Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 5, Pasal 1 angka 14 KUHAP dihubungkan dengan norma Pasal 183, Pasal 184 KUHAP untuk menilai apakah tindakan TERMOHON dalam perkara a quo ini sah atau tidak sah;
5. Bahwa norma Pasal 1 angka 14 KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia telah diputus dalam Putusan nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 dengan amarnya berbunyi :
Frasa “Bukti Permulaan”, “bukti Permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
Frasa “Bukti Permulaan”, “Bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” adalah dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
6. Bahwa berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015. Maka, Pasal 1 angka 14 KUHAP harus dimaknai:
“Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan “minimal dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184” patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”;
7. Bahwa merujuk unsur-unsur tindak pidana korupsi pada norma Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah :
1) Secara Melawan Hukum;
2) Memperkaya diri sendiri, dan;
3) Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Maka, penetapan status Tersangka PEMOHON yang dilakukan TERMOHON tersebut tidak terpenuhi dikarenakan ketiga unsur dari perbuatan korupsi tersebut tidak ada satupun yang terpenuhi dan status Tersangka PEMOHON menjadi batal demi hukum;
8. Bahwa tindakan TERMOHON yang telah sewenang-wenang (abuse of power) menetapkan status PEMOHON sebagai Tersangka dengan menggunakan Regulasi yang sudah tidak berlaku lagi Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 merupakan bentuk penyelundupan hukum dan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dan juga Hak Konstitusional dari PEMOHON karena sebagaimana Asas Hukum Non-Retroaktif, melarang “keberlakuan surut dari suatu Undang-Undang” dan juga Pasal 28I Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi :
“Hak untuk Hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
9. Bahwa merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2014 yang dalam amar Putusannya tersebut jelas bukti permulaan yang cukup atau bukti yang cukup bukanlah suatu alat bukti sebagaimana Pasal 184 KUHAP. Maka, jelas bukti Permulaan yang dijadikan dasar oleh TERMOHON untuk menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka tidak mempunyai Kekuatan Hukum yang Mengikat dan merupakan penyelundupan hukum yang dilakukan oleh TERMOHON kepada PEMOHON karena Frasa Bukti Permulaan yang cukup atau bukti yang cukup tersebut sudah tidak berlaku lagi dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 dan status Tersangka PEMOHON menjadi Cacat Hukum atau batal demi hukum;
10. Bahwa Penyitaan atau penahanan barang .................... yang dilakukan oleh TERMOHON tersebut bukanlah dalam situasi yang mendesak atau genting sebagaimana Pasal 38 ayat (2) UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP, melainkan dalam situasi biasa atau keadaan normal. Dengan kata lain penahanan atau penyitaan terhadap sebuah mobil milik PEMOHON tersebut haruslah mendapat persetujuan terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri setempat (In Casu. Ketua Pengadilan Negeri .....................);
11. Bahwa sejalan dengan norma Pasal 1 angka 14 KUHAP, dalam Pasal lainnya yaitu Pasal 1 angka 2 KUHAP mengatur penyidikan yang semestinya tidak ada keraguan lagi untuk menyatakan bahwa tindakan utama penyidikan adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran dari tiga hal, yaitu :
1) Bukti,
2) Tindak Pidana, dan
3) Pelakunya (Tersangka)
Oleh karena itu, penentuan ada tidaknya tindak pidana dan juga pelaku tindak pidananya ditentukan oleh bukti yang berhasil ditemukan penyidik In Casu TERMOHON dengan kata lain, tidak akan ada tindak pidana yang ditemukan dan juga tidak ada pelaku (tersangka) yang dapat ditemukan apabila Penyidik in casu TERMOHON gagal menemukan bukti yang dimaksud;
Dengan demikian, tindakan penyidikan tidak mengharuskan penyidik in casu TERMOHON untuk menetapkan adanya tersangka dan juga tindak pidananya kecuali hal tersebut didasarkan pada minimal dua alat bukti yang sah yang berhasil ditemukan Penidik in casu TERMOHON yang menunjukkan bahwa seseorang in casu PEMOHON patut diduga sebagai pelaku tindak pidana tersebut;
2. Bahwa merujuk asas legalitas terkait dengan penerapan hukum materiil, sangat jelas dan terang terhadap tindakan TERMOHON menetapkan PEMOHON sebagai Tersangka ini merupakan bentuk kesewenang-wenangan kalau dihubungkan dengan keterangan/pendapat pakar hukum yang bernama Von Feuerbach yang pada pokoknya menyatakan : a. Nulla Pena Sine Lege yang artinya setiap hukuman harus didasarkan pada suatu Undang-Undang Pidana sebelumnya b. Nula Poena Sine Crimine, yang artinya setiap hukuman yang dijatuhkan hanya dapat dilakukan apabila perbuatan tersebut diancam dengan suatu hukuman oleh Undang-Undang; c. Nullum Crimen Sine Poena Legali, yang artinya tidak ada kejahatan yang tidak dapat dihukum seperti yang diancamkan oleh Undang-Undang terhadap Pelanggarannya; (Dr. Anselm Ritter v. Feuerbach: 1847, Lehrbuch des Geminin in Deutschland gultegen Peinlichen Rechts, Georg Freiedrich Hayer’s Verlag Paragraf 20, hal 41-44);
3. Bahwa dalam Praktik hukum pada dasarnya hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur dan memberikan batasan yang dapat dilakukan oleh Negara dalam proses penyelidikan, Penyidikan hingga proses peradilan dengan metode baku untuk menegakkan hukum dan melindungi hak-hak individu selama proses hukum berlangsung. Hukum acara tersebut dirancang sedemikian rupa untuk memastikan proses hukum yang adil dan konsisten yang biasa disebut sebagai “due process of law” untuk mencari keadilan yang hakiki dalam semua perkara yang diproses dalam due Process of law menguji dua hal, yaitu (1). Apakah negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik Tersangka tanpa Prosedur, (2) jika menggunakan Prosedur, apakah Prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due Process (Rhonda Wasserman, 2004, Procedural Due Process: A Reference Guide to the United States Constitution, Santa Barbara: Greenwood Publishing Group, Halaman 1);
4. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, TERMOHON seolah lupa atau tidak sadar atau tidak mau tahu, bahwa sebagaimana yang dituliskan oleh Eddy OS Hiariej dalam bukunya tersebut di atas, hukum acara pidana sangat terikat dengan sifat keresmiannya dan karakter hukum acara pidana yang sangat menjunjung tinggi legalisme, yang berarti berpegang teguh pada peraturan, tata cara atau penalaran hukum menjadi sangat penting dalam hukum acara pidana. Oleh karena menurut PEMOHON sudah seharusnya hukum dapat digunakan untuk melakukan koreksi oleh Pengadilan terhadap tindakan penetapan Tersangka terhadap diri PEMOHON oleh TERMOHON yang dilakukan secara melanggar Asas Kepastian Hukum itu, dengan menyatakan secara tegas bahwa Penetapan Tersangka terhadap PEMOHON a quo adalah tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat menurut hukum yang mengakibatkan TERMOHON tidak mempunyai kewenangan atau legal standing untuk melakukan proses penyidikan dan penyitaan barang bukti terhadap perkara a quo dan mewajibkan TERMOHON untuk mengembalikan dan menyerahkan ........ .................... yang sebelumnya berada dalam Penguasaan PEMOHON;
Dengan demikian berdasarkan seluruh uraian diatas, maka tindakan atau proses penyidikan yang dilaksanakan oleh TERMOHON terkait Penetapan diri PEMOHON sebagai Tersangka dan Penahanan PEMOHON secara hukum adalah juga tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat. Oleh karena itu, perbuatan TERMOHON yang menetapkan PEMOHON selaku Tersangka dan melakukan Penahanan tanpa prosedur dan cacat yuridis/bertentangan dengan hukum, telah mengakibatkan kerugian materil dan immaterial yang tidak dapat dihitung dengan uang, namun untuk kepastian hukum dengan ini PEMOHON menentukan kerugian yang diderita adalah sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).
Bahwa upaya hukum Praperadilan ini PEMOHON lakukan semata-mata demi mencari kebenaran hukum, dan sebagaimana pendapat dari M. Yahya Harahap, bahwa salah satu fungsi upaya hukum Praperadilan adalah sebagai pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan perkara pidana agar benar-benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan peraturan hukum dan perundang-undangan. Dan sebagaimana pula pendapat Loebby Loqman, bahwa fungsi pengawasan horizontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh lembaga Praperadilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka system peradilan pidana terpadu. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari pengawasan horizontal dari lembaga Praperadilan tersebut adalah sesuai dengan tujuan umum dibentuknya KUHAP, yaitu untuk menciptakan suatu proses penegakan hukum yang didasarkan pada kerangka due process of law. due process of law pada dasarnya bukan semata-mata mengenai rule of law, akan tetapi merupakan unsur yang essensial dalam penyelenggaraan peradilan yang intinya adalah bahwa ia merupakan “….a law which bears before it condemns, which proceeds upon inquiry, and renders judgement only after trial….”. pada dasarnya yang menjadi titik sentral adalah perlindungan hak-hak asasi individu terhadap arbitrary action of the government. Oleh karena itu, Praperadilan memiliki peran yang penting untuk meminimalisir penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dalam pelaksanaan proses penegakan hukum. Agar penegak hukum harus hati-hati dalam melakukan tindakan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang.
Kita bersama memahami bahwa penyidik merupakan pihak yang paling berwenang dalam tahap penyidikan karena mempunyai tugas yang sangat penting pada proses penegakan hukum sehingga dapat mempengaruhi jalan selanjutnya dari proses penyelesaian suatu perkara pidana. Oleh karenanya kami sangat berharap “sentuhan” Hakim Yang Mulia dalam putusannya agar dapat menegakkan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum bagi PEMOHON dalam kasus a quo. Kami menempuh jalan ini karena kami yakin bahwa melalui forum Praperadilan ini juga dipenuhi syarat keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas public (Public accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Dengan forum terbuka ini, masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya proses pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan penyidik (IC. TERMOHON) dalam menetapkan seseorang sebagai tersangka dan melakukan penahanan terhadap seseorang In Casu PEMOHON ataupun dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum hakim Praperadilan yang memerdekakannya.
Bahwa apabila teori-teori perihal Praperadilan tersebut diatas dikaitkan dengan pandangan Soejono Soekanto mengenai dua fungsi yang dapat dijalankan oleh hukum didalam masyarakat, yaitu sebagai sarana control (a tool of social kontrol) dan sebagai sarana untuk melakukan rekayasa social (a tool of social ingieneering). Dengan adanya a tool of social control ini maka pada dasarnya, Praperadilan berfungsi sebagai perlindungan terhadap tindakan yang sewenang-wenang dari para aparat penegak hukum yang pada pelaksanaan tugasnya sering melakukan tindakan yang kurang pantas, sehingga melanggar hak dan harkat manusia. Namun untuk lebih mendalam tentang Praperadilan terutama dalam masyarakat sehingga lebih mengerti tentang manfaat dan fungsi Praperadilan. Selanjutnya hukum sebagai a tool of social engineering, Praperadilan dapat membawa masyarakat kepada situasi dan kondisi hukum yang lebih baik menuju kearah pembangunan hukum kedepan.
Dengan demikian, keberadaan lembaga Praperadilan di dalam KUHAP ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal, atau dengan kata lain, Praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudah merupakan hal yang bersifat universal dalam setiap Negara hukum. Karena pengakuan, jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah sebagai salah satu esensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu Negara hukum. Hal inilah yang hendak dicapai PEMOHON melalui upaya hukum Praperadilan ini.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka sudah seharusnya menurut hukum PEMOHON memohon kepada Ketua Pengadilan Negeri ....... Cq Majelis Hakim Yang Memeriksa Perkara Ini berkenan menjatuhkan putusan sebagai berikut:
1. Menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. (In Casu TERMOHON) Nomor : ................................................. tanggal ................................................. jo Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor: ................................................. tanggal ................................................. dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan (In Casu TERMOHON) Nomor : ................................................. tanggal ........................... yang menetapkan pemohon sebagai tersangka dan melakukan Penahanan kepada PEMOHON oleh Termohon dengan dasar Bukti Permulaan yang Cukup berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 terkait peristiwa Pidana Korupsi sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsidair Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Cacat Hukum atau TIDAK SAH dan Tidak berdasar atas Hukum, dan oleh karenanya Penetapan A quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
3. Menyatakan Penyidikan dan Penahanan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana korupsi dengan dua buah Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan sebanyak dua kali yakni Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. (In Casu TERMOHON) Nomor : ................................................. tanggal ........................ jo Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor: ................................................. dengan dasar Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. (In Casu TERMOHON) Nomor : ................................................. sebagaimana yang dimaksud dalam Penetapan tersangka dan Penahanan terhadap diri Pemohon sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsidair Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah Cacat Hukum atau TIDAK SAH dan tidak berdasar atas Hukum dan oleh karenanya Penyidikan A quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
4. Menyatakan Penyidikan dan Penahanan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait peristiwa pidana korupsi dengan dua buah Surat Perintah Penahanan yang dikeluarkan sebanyak dua kali yakni Surat Perintah Penyidikan Kepala Kepolisian/Kejaksaan ................................................. (In Casu TERMOHON) Nomor : ................................................. jo Surat Perintah Penahanan (Tingkat Penyidikan) Nomor: ................................................. (In Casu TERMOHON) Nomor : ................................................. sebagaimana yang dimaksud dalam Penetapan tersangka dan Penahanan terhadap diri Pemohon sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi subsidair Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tanpa memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan kepada PEMOHON berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 Cacat Hukum atau TIDAK SAH dan tidak berdasar atas Hukum dan oleh karenanya Penyidikan A quo tidak mempunyai kekuatan mengikat;
5. Menyatakan Penyitaan atau penahanan ................................................. warna ...... dengan ...................... milik PEMOHON yang dilakukan oleh TERMOHON tanpa meminta Izin Ketua Pengadilan ............... atau setempat dan tanpa memberikan berita Acara Penahanan atau penyitaan yang jelas adalah tidak sah dan tidak mempunyai hukum mengikat;
6. Memerintahkan Termohon untuk mengembalikan ................................................. warna ........ dengan ........................ milik PEMOHON yang dalam penguasaan Termohon kepada Pemohon setelah Putusan ini mempunyai kekuatan hukum mengikat;
7. Menyatakan perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon selaku tersangka dan melakukan penahanan tanpa Prosedur adalah cacat Yuridis/bertentangan dengan hukum yang menyebabkan kerugian sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah);
8. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkaitan dengan Penetapan Tersangka atau penahanan terhadap diri Pemohon oleh Termohon;
9. Menghukum Termohon untuk membayar biaya pekara yang timbul dalam perkara Aquo;
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain Mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono)
Demikianlah Permohonan ini kami sampaikan, atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
HORMAT KAMI
KUASA HUKUM PEMOHON
...................................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar