Jumat, 29 September 2023

Orang Yang Terhalang atau Tidak Bisa Menjadi Saksi di Pengadilan

 

Dalam setiap peristiwa apapun baik yang berhubungan dengan suatu peristiwa tindak pidana atau pun peristiwa hubungan keperdataan, keberadaan saksi menjadi penting untuk memperkuat apa yang dituntut oleh seseorang atau terhadap seseorang. Didalam hukum acara baik pidana maupun perdata di Indonesia. Saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) butir (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg. Walaupun saksi merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana dan perdata, akan tetapi tidak semua orang dapat memberikan kesaksiannya dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ada beberapa orang yang karena keadaannya tidak dapat di jadikan sebagai saksi atau dapat dikatakan tidak layak didengar kesaksiannya karena terdapat hubungan tertentu yang mengakibatkan seseorang tidak dapat memberikan kesaksiannya di pengadilan karena khawatir kesaksiannya tidak akan objektif terhadap perkara yang dipersidangkan.

 

Sebelum saksi yang diajukan didalam persidangan perdata maupun pidana, terlebih dahulu saksi akan disumpah menurut kepercayaannya dan melafalkan kata-kata sumpah yang dipandu oleh petugas yang berwenang dipengadilan. Hal ini agar saksi dalam memberikan keterangannya setelah disumpah tidak berbohong atau mengarang cerita atau dibuat-buat keterangannya dan memberikan keterangan sebagai saksi secara objektif. Didalam KUHAP ataupun HIR,

 

LARANGAN SAKSI DALAM HUKUM PIDANA

Dalam hukum acara pidana, aturan main dalam persidangan pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana saksi haruslah orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri atau mengalami sendiri, akan tetapi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

 

Dalam KUHAP, seseorang dipandang tidak dapat atau terhalang sebagai saksi dikarenakan adanya hubungan darah atau semenda. Keluarga semenda menurut Pasal 295 ayat (1) KUHPerdata yakni kekeluargaan semenda adalah satu pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami istri dan keluarga sedarah dari pihak lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan keluarga semenda adalah pertalian keluarga karena perkawinan.

 

Berikut orang yang terhalang menjadi saksi dalam Hukum Acara Pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 168 KUHAP adalah :

 

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a)    keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b)    saudara dan terdakwa atau yang bĂ©rsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga

c)    suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

 

LARANGAN SAKSI DALAM HUKUM PERDATA

Berbeda dengan Hukum Acara Pidana, larangan seseorang dalam memberikan kesaksian dalam hukum acara perdata diatur dalam HIR yang mana orang yang tidak boleh menjadi saksi dalam hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (1) dan Pasal 146 HIR adalah :

 

Pasal 145 HIR

1)  yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:

1.    keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus;

2.    istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;

3.    anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia Lima belas tahun;

4.    orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

 

Pasal 146 HIR

(1)  Yang boleh mengundurkan diri dari memberi kesaksian adalah:

1.    saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan;

2.    keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atauistri salah satu pihak;

3.    sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukankepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.

 

(2)  Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar tidaknya keterangan seorang, bahwa ia diwajibkan menyimpan rahasia.

 

Oleh karenanya jelas orang yang memiliki hubungan darah maupun perkawinan tidak boleh atau tidak layak memberikan kesaksiannya dalam persidangan perdata, akan tetapi karyawan atau pekerja atau memiliki hubungan pekerjaan tidak ada larangan dalam memberikan kesaksiannya dalam persidangan perdata. Banyak orang yang salah menilai bahwasanya karyawan tidak layak sebagai saksi dalam persidangan perdata karena karyawan menerima upah atau memiliki hubungan kerja. Padahal didalam Hukum Acara Perdata tidak ada larangan tersebut. Terlepas dari hal karyawan atau pekerja yang memberikan kesaksian tidak objektif merupakan kewenangan hakim.

 

HUKUM KELUARGA

Hukum keluarga merupakan salah satu hukum perdata. Namun hukum keluarga hanya membahas mengenai keluarga saja. Mengenai hukum keluarga terdapat pengecualian untuk saksinya. Bila dalam hukum pidana maupun hukum perdata, orang yang memiliki hubungan darah maupun perkawinan dilarang memberikan kesaksiannya didalam persidangan, akan tetapi hukum keluarga memperbolehkan orang yang memiliki hubungan darah ataupun perkawinan menjadi saksi dan diangkat sumpah sebelum memberikan kesaksiannya dalam persidangan dikarenakan permasalahan yang dibahas adalah keluarga contohnya Perceraian. Jadi yang mengetahui tentang permasalahan tersebut adalah keluarganya sebagaimana Pasal 146 ayat (2) HIR yakni :

Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang suatu perjanjian kerja.

 

Dalam Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagaimana telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah lagi olehUndang-Undang Nomor 50 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama :

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.

 

Sedangkan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan menjelaskan Penyelesaian perkara penceraian dengan alasan syiqaq menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sejak awal diajukan gugatan harus berdasarkan alasan syiqaq. Oleh karena itu keluarga wajib dijadikan saksi dibawah sumpah.

 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Perkawinan Pasal 22 ayat (2) berbunyi :

Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itudan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekatdengan suami-isteri itu.

 

Jadi terhadap perkara perceraian dalam hukum keluarga, saksi yang memiliki hubungan darah atau perkawinan boleh diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar.

 

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

 

Herzien Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44)

Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227)

 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagaimana telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah lagi olehUndang-Undang Nomor 50 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Perkawinan

 

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar