Sering melihat perjanjian yang
dilekatkan materai yang ditandatangani oleh orang yang membuatnya ?. Tentunya
dokumen-dokumen tersebut sudah tidak lazim lagi dilihat dalam kehidupan
sehari-hari. Namun mengapa dalam suatu dokumen perjanjian harus dilekatkan
materai ?. Padahal syarat-syarat sahnya suatu perjanjian tidak mensyaratkan
suatu perjanjian harus dilekatkan materai. Kemudian banyak orang yang beranggapan
apabila suatu perjanjian tidak ditempel materai, maka perjanjian tersebut tidak
sah atau tidak diakui. Tentu hal itu merupakan kekeliruan tafsir dari suatu
perjanjian karena penempelan materai tidak diatur dalam syarat sahnya
perjanjian.
Perjanjian merupakan sebuah dokumen
keperdataan yang didalamnya memuat hal-hal yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak yang membuatnya yang mana perjanjian tersebut merupakan aturan main
yang berlaku dan mengikat para pihak yang membuatnya. Lalu apakah perjanjian
yang tidak dilekatkan materainya tidak sah ?. Berkaitan dengan hal tersebut terlebih dahulu
harus dipahami bahwasanya peraturan
mengenai bea materai diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea
Materai. Namun mulai tanggal 01 Januari 2020, telah berlaku Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2020 Tentang Bea Materai yang mencabut UU Bea Materai Nomor 13 Tahun
1985. Namun bukan mengenai berlaku sejak kapan Undang-Undang materai yang baru,
akan tetapi apakah sah perjanjian yang tidak dilekatkan materai berdasarkan UU
Bea Materai Nomor 10 Tahun 2020. menurut
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Materai, bea
materai memiliki pengertian yakni pajak atas dokumen. Dokumen dalam pasal 1
angka (2) UU Bea Materai memiliki pengertian adalah sesuatu yang ditulis atau
tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yang dapat
dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Bea Materai,
dokumen yang dikenakan bea materai adalah :
1.
Bea
Meterai dikenakan atas:
a.
Dokumen
yang dibuat sebagai alat untuk menerangkan mengenai suatu kejadian yang
bersifat perdata; dan
b.
Dokumen
yang digunakan sebagai alat bukti dipengadilan.
Perjanjian merupakan dokumen yang bersifat keperdataan yang mana dokumen
perjanjian dikenakan pajak atas dokumen tersebut (Pasal 3 ayat (2) huruf (a) UU
Bea Materai). Lebih jauh dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) huruf (a)
UU Bea Materai yakni Yang dimaksud dengan "kejadian
yang bersifat perdata" adalahkejadian yang masuk dalam ruang lingkup hukum
perdatamengenai orang, barang, perikatan, pembuktian, dan kedaluwarsa”.
Maka dari itu, perjanjian yang dibuat tanpa dilekatkan
materai akan tetap sah asalkan perjanjian tersebut dibuat berdasarkan syarat-syarat
sahnya suatu perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Penempelan materai
merupakan suatu bentuk ketaatan sebagai warga negara untuk membayar pajak,
kecuali perjanjian tersebut akan digunakan sebagai alat pembuktian dalam
pengadilan (Pasal 3 ayat (1) huruf (b) UU Bea Materai). Maka dokumen yang akan
diajukan sebagai bukti di Pengadilan, sebagaimana Pasal 17 ayat (1) huruf (a)
UU Bea Materai, Pemateraian kemudian
dilakukan untuk dokumen yang akan dijadikan bukti dalam pengadilan.
Demikian
artikel ini semoga bermanfaat, apabila ada kritik atau saran silahkan tambahkan
atau tulis dikolom komentar. Terima kasih
Dasar Hukum :
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar