Kamis, 21 September 2023

Kedudukan Saksi Testimonium De Auditu Diakui Sebagai Saksi Dalam Tindak Pidana

 

Tindak pidana merupakan suatu peristiwa yang dikategorikan merupakan perbuatan kriminal yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, akan tetapi sering kali terbentur dalam suatu peristiwa tindak pidana yang dilakukan terhadap orang lain tidak adanya saksi mata yang melihat kejadian tindak pidana tersebut karena banyak dari pelaku tindak pidana akan melakukan perbuatan kriminal di tempat yang sepi atau tidak ada orang yang melihat, mendengar peristiwa tersebut. Kebanyakan saksi dalam perbuatan tindak pidana hanya diketahui oleh korbannya saja. Sedangkan saksi baru mengetahui adanya perbuatan tindak pidana setelah di ceritakan oleh korban. Saksi yang mendengar atau mengetahui tentang suatu peristiwa tindak pidana yang bersumber dari orang lain di sebut dalam hukum sebagai saksi testimonium de auditu yang memiliki pengertian yakni keterangan saksi yang didengar dari cerita orang lain.

 

Dalam Hukum Acara Pidana, saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam tindak pidana sebagaimana yang ada pada Pasal 184 ayat (1) butir (a) KUHAP. Dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi :

Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri dan ia alami sendiri.

 

Dan Pasal 1 angka 27 KUHAP berbunyi Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu”.

 

Kemudian bagaimana apabila orang yang mengalami peristiwa tindak pidana tidak memiliki saksi yang melihat atau mendengar kejadian yang ia alami. Sedangkan orang tersebut mengalami atau sebagai korban tindak pidana seorang diri. Seperti contoh penjambretan atau penodongan atau pelecehan seksual. Banyak kejadian-kejadian penjambretan maupun penodongan atau pelecehan seksual hanya dialami oleh korbannya seorang diri saja. Lantas bagaimana korban mendapatkan keadilannya agar pelaku dapat dihukum dan diadili sesuai hukum yang berlaku? Apabila korban tidak memiliki saksi yang mendengar atau melihat kejadian yang ia alami dan bagaimana hak tersangka atau terdakwa yang memang tidak melakukan perbuatan yang disangkakan kepadanya untuk membantah kejadian tindak pidana yang dituduhkan dengan menghadirkan saksi-saksi yang meringankan bagi dirinya. Melihat banyaknya kejadian tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 65/PUU-VIII/2010 yakni :

 

Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;

 

Menyatakan Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;

 

Namun dalam hal ini keterangan saksi haruslah minimal 2(dua) orang dan bukan hanya seorang saksi saja karena asas hukum Unus Testis Nullus Testis yang berarti keterangan seorang saksi bukanlah saksi. Maksud dari keterangan saksi bukanlah saksi ialah keterangan dari satu orang saksi dinilai tidak objektif untuk menilai apakah tersangka atau terdakwa bersalah melakukan tindak pidana dan Pasal 185 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwasanya “Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang dapat menjadi saksi bukan hanya dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami sendiri, akan tetapi saksi testimonium de auditu yang mendengar cerita dari orang lain diakui dalam peradilan tindak pidana yang mana saksi tidak selalu harus mendengar sendiri, melihat sendiri dan dialami sendiri.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar