Tindak pidana merupakan suatu peristiwa yang dikategorikan merupakan
perbuatan kriminal yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, akan
tetapi sering kali terbentur dalam suatu peristiwa tindak pidana yang dilakukan
terhadap orang lain tidak adanya saksi mata yang melihat kejadian tindak pidana
tersebut karena banyak dari pelaku tindak pidana akan melakukan perbuatan
kriminal di tempat yang sepi atau tidak ada orang yang melihat, mendengar
peristiwa tersebut. Kebanyakan saksi dalam perbuatan tindak pidana hanya
diketahui oleh korbannya saja. Sedangkan saksi baru mengetahui adanya perbuatan
tindak pidana setelah di ceritakan oleh korban. Saksi yang mendengar atau
mengetahui tentang suatu peristiwa tindak pidana yang bersumber dari orang lain
di sebut dalam hukum sebagai saksi testimonium
de auditu yang memiliki pengertian yakni keterangan saksi yang didengar dari
cerita orang lain.
Dalam Hukum Acara Pidana, saksi merupakan salah satu alat bukti yang
sah dalam tindak pidana sebagaimana yang ada pada Pasal 184 ayat (1) butir (a)
KUHAP. Dalam Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) berbunyi :
Saksi adalah orang
yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan
peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia Iihat sendiri
dan ia alami sendiri.
Dan
Pasal 1 angka 27 KUHAP berbunyi Keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, dengan
menyebut alasan dan pengetahuannya itu”.
Kemudian
bagaimana apabila orang yang mengalami peristiwa tindak pidana tidak memiliki
saksi yang melihat atau mendengar kejadian yang ia alami. Sedangkan orang
tersebut mengalami atau sebagai korban tindak pidana seorang diri. Seperti
contoh penjambretan atau penodongan atau pelecehan seksual. Banyak
kejadian-kejadian penjambretan maupun penodongan atau pelecehan seksual hanya
dialami oleh korbannya seorang diri saja. Lantas bagaimana korban mendapatkan
keadilannya agar pelaku dapat dihukum dan diadili sesuai hukum yang berlaku? Apabila
korban tidak memiliki saksi yang mendengar atau melihat kejadian yang ia alami
dan bagaimana hak tersangka atau terdakwa yang memang tidak melakukan perbuatan
yang disangkakan kepadanya untuk membantah kejadian tindak pidana yang
dituduhkan dengan menghadirkan saksi-saksi yang meringankan bagi dirinya.
Melihat banyaknya kejadian tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya
Nomor 65/PUU-VIII/2010 yakni :
Menyatakan Pasal 1
angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal
184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang pengertian
saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan
ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai
termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;
Menyatakan Pasal 1
angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta Pasal
184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal
65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk
pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”;
Namun
dalam hal ini keterangan saksi haruslah minimal 2(dua) orang dan bukan hanya
seorang saksi saja karena asas hukum Unus
Testis Nullus Testis yang berarti keterangan seorang saksi bukanlah saksi.
Maksud dari keterangan saksi bukanlah saksi ialah keterangan dari satu orang
saksi dinilai tidak objektif untuk menilai apakah tersangka atau terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana dan Pasal 185 ayat (2) KUHAP menegaskan
bahwasanya “Keterangan seorang saksi saja
tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
didakwakan kepadanya”. Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, yang
dapat menjadi saksi bukan hanya dilihat sendiri, didengar sendiri, dialami
sendiri, akan tetapi saksi testimonium de
auditu yang mendengar cerita dari orang lain diakui dalam peradilan tindak
pidana yang mana saksi tidak selalu harus mendengar sendiri, melihat sendiri
dan dialami sendiri.
Demikian artikel ini, semoga
bermanfaat, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar.
Dasar
Hukum :
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar