Jumat, 29 September 2023

Orang Yang Terhalang atau Tidak Bisa Menjadi Saksi di Pengadilan

 

Dalam setiap peristiwa apapun baik yang berhubungan dengan suatu peristiwa tindak pidana atau pun peristiwa hubungan keperdataan, keberadaan saksi menjadi penting untuk memperkuat apa yang dituntut oleh seseorang atau terhadap seseorang. Didalam hukum acara baik pidana maupun perdata di Indonesia. Saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 ayat (1) butir (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg. Walaupun saksi merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana dan perdata, akan tetapi tidak semua orang dapat memberikan kesaksiannya dalam perkara pidana maupun perkara perdata. Ada beberapa orang yang karena keadaannya tidak dapat di jadikan sebagai saksi atau dapat dikatakan tidak layak didengar kesaksiannya karena terdapat hubungan tertentu yang mengakibatkan seseorang tidak dapat memberikan kesaksiannya di pengadilan karena khawatir kesaksiannya tidak akan objektif terhadap perkara yang dipersidangkan.

 

Sebelum saksi yang diajukan didalam persidangan perdata maupun pidana, terlebih dahulu saksi akan disumpah menurut kepercayaannya dan melafalkan kata-kata sumpah yang dipandu oleh petugas yang berwenang dipengadilan. Hal ini agar saksi dalam memberikan keterangannya setelah disumpah tidak berbohong atau mengarang cerita atau dibuat-buat keterangannya dan memberikan keterangan sebagai saksi secara objektif. Didalam KUHAP ataupun HIR,

 

LARANGAN SAKSI DALAM HUKUM PIDANA

Dalam hukum acara pidana, aturan main dalam persidangan pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana saksi haruslah orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri atau mengalami sendiri, akan tetapi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 saksi tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

 

Dalam KUHAP, seseorang dipandang tidak dapat atau terhalang sebagai saksi dikarenakan adanya hubungan darah atau semenda. Keluarga semenda menurut Pasal 295 ayat (1) KUHPerdata yakni kekeluargaan semenda adalah satu pertalian kekeluargaan karena perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami istri dan keluarga sedarah dari pihak lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud dengan keluarga semenda adalah pertalian keluarga karena perkawinan.

 

Berikut orang yang terhalang menjadi saksi dalam Hukum Acara Pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 168 KUHAP adalah :

 

Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

a)    keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

b)    saudara dan terdakwa atau yang bĂ©rsama-sama sebagal terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga

c)    suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.

 

LARANGAN SAKSI DALAM HUKUM PERDATA

Berbeda dengan Hukum Acara Pidana, larangan seseorang dalam memberikan kesaksian dalam hukum acara perdata diatur dalam HIR yang mana orang yang tidak boleh menjadi saksi dalam hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat (1) dan Pasal 146 HIR adalah :

 

Pasal 145 HIR

1)  yang tidak boleh didengar sebagai saksi adalah:

1.    keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak dalam garis lurus;

2.    istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah bercerai;

3.    anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa mereka sudah berusia Lima belas tahun;

4.    orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

 

Pasal 146 HIR

(1)  Yang boleh mengundurkan diri dari memberi kesaksian adalah:

1.    saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki maupun perempuan;

2.    keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki dan perempuan dari suami atauistri salah satu pihak;

3.    sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal yang diberitahukankepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.

 

(2)  Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar tidaknya keterangan seorang, bahwa ia diwajibkan menyimpan rahasia.

 

Oleh karenanya jelas orang yang memiliki hubungan darah maupun perkawinan tidak boleh atau tidak layak memberikan kesaksiannya dalam persidangan perdata, akan tetapi karyawan atau pekerja atau memiliki hubungan pekerjaan tidak ada larangan dalam memberikan kesaksiannya dalam persidangan perdata. Banyak orang yang salah menilai bahwasanya karyawan tidak layak sebagai saksi dalam persidangan perdata karena karyawan menerima upah atau memiliki hubungan kerja. Padahal didalam Hukum Acara Perdata tidak ada larangan tersebut. Terlepas dari hal karyawan atau pekerja yang memberikan kesaksian tidak objektif merupakan kewenangan hakim.

 

HUKUM KELUARGA

Hukum keluarga merupakan salah satu hukum perdata. Namun hukum keluarga hanya membahas mengenai keluarga saja. Mengenai hukum keluarga terdapat pengecualian untuk saksinya. Bila dalam hukum pidana maupun hukum perdata, orang yang memiliki hubungan darah maupun perkawinan dilarang memberikan kesaksiannya didalam persidangan, akan tetapi hukum keluarga memperbolehkan orang yang memiliki hubungan darah ataupun perkawinan menjadi saksi dan diangkat sumpah sebelum memberikan kesaksiannya dalam persidangan dikarenakan permasalahan yang dibahas adalah keluarga contohnya Perceraian. Jadi yang mengetahui tentang permasalahan tersebut adalah keluarganya sebagaimana Pasal 146 ayat (2) HIR yakni :

Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang suatu perjanjian kerja.

 

Dalam Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagaimana telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah lagi olehUndang-Undang Nomor 50 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama :

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.

 

Sedangkan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan menjelaskan Penyelesaian perkara penceraian dengan alasan syiqaq menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sejak awal diajukan gugatan harus berdasarkan alasan syiqaq. Oleh karena itu keluarga wajib dijadikan saksi dibawah sumpah.

 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Perkawinan Pasal 22 ayat (2) berbunyi :

Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itudan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekatdengan suami-isteri itu.

 

Jadi terhadap perkara perceraian dalam hukum keluarga, saksi yang memiliki hubungan darah atau perkawinan boleh diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar.

 

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)

 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

 

Herzien Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44)

Rechtsreglement Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227)

 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagaimana telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah lagi olehUndang-Undang Nomor 50 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010

 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 Tentang Perkawinan

 

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Mengenal Apa Itu Daya Paksa

 

Daya paksa atau upaya membela diri oleh seseorang akibat serangan atau tekanan yang diberikan oleh orang lain yang dikhawatirkan merenggut keselamatan atau bahkan nyawanya mendapatkan perlindungan dari negara dan terhadap seseorang yang melakukan pembelaan diri tersebut tidak dapat dikenakan Pidana.

 

Seperti contoh yang dalam beberapa tahun belakangan ini yakni seorang pemuda membela dirinya dari pelaku begal yang ingin mengambil harta bendanya tersebut akhirnya merenggut nyawa pelaku begal. Namun pemuda yang membela dirinya tersebut kemudian ditahan oleh pihak kepolisian yang kemudian dibebaskan oleh pihak kepolisian dikarenakan pemuda tersebut terbukti membela dirinya dari pelaku begal yang mengancam dirinya.

 

Melihat dari kejadian diatas, apakah benar tindakan pemuda yang membela dirinya dari pelaku begal hingga membuat pelaku begal meregang nyawanya ?. hal ini diatur didalam ketentuan dari Pasal 48 KUHP berbunyi :

“Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”

 

Kemudian dalam Pasal 49 KUHP berbunyi :

(1)  tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untukdiri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta bendasendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangatdekat pada saat itu yang melawan hukum.

 

(2)  Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan olehkeguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidakdipidana.

 

Dari ketentuan kedua Pasal diatas, jelas tindakan membela diri yang dilakukan seseorang terhadap orang lain untuk mempertahankan dirinya, hartanya, ataupun martabatnya tidak dapat dipidana karena tujuan pembelaan dirinya yang bahkan kadang-kadang harus menghilangkan nyawa pelaku karena adanya tekanan untuk membela dirinya, hartanya, ataupun martabatnya. Sehingga orang yang membela diri tidak dapat dikategorikan tidak memiliki motif untuk menguntungkan dirinya sendiri dalam melakukan pembelaan dirinya. Namun dengan demikian hal tersebut haruslah dapat dibuktikan oleh orang yang melakukan pembelaan diri tersebut didepan pejabat yang berwenang karena tidak serta merta seseorang yang melakukan pembelaan diri tidak dapat dipidana. Hal ini tetap harus mengikuti proses dan prosedur yang ada dari sistem regulasi peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Apabila ada masukan dan komentar silahkan tulis dikolom komentar. Demikian Artikel ini, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Rabu, 27 September 2023

Dapatkah Istri Meminta Suami Membayar Kewajibannya Pasca Perceraian

 

Permasalahan rumah tangga merupakan persoalan yang tidak dapat dianggap remeh atau sepele karena dapat persoalan rumah tangga bukan hanya berurusan antara suami maupun istri, akan tetapi dalam perkawinan atau pernikahan yakni menyatukan dua keluarga besar yang memiliki latar belakang sosial budaya maupun pendidikan serta ekonomi yang tidak sama merata.

 

Hal inilah yang membuat urusan rumah tangga seseorang sangat pelik dan tidak mudah untuk diatasi maupun diselesaikan. Kebanyakan orang atau masyarakat yang memang rumah tangganya tidak dapat dipertahankan lebih memilih perceraian adalah jalan satu-satunya agar hidupnya tenang atau bahagia. Tentu nya hal tersebut banyak terjadi di Indonesia melihat banyaknya angka perceraian yang terdaftar di Pengadilan Agama ditiap kota di Indonesia menunjukkan tingginya angka perceraian di Indonesia yang dialami oleh masyarakat yang mana alasan-alasan perceraiannya tentu bermacam-macam. Di Indonesai sendiri Negara yang mayoritas berpenduduk muslim memiliki regulasi atau aturan hukum sendiri yakni Peradilan Agama yang khusus mengurusi permasalahan orang yang beragama islam salah satunya perceraian. Aturan hukum mengenai perceraian bagi yang beragama islam di Indonesia di atur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang mana UU Perkawinan tersebut merupakan aturan hukum yang diperuntukkan bagi seluruh agama yang ada di Indonesia.

 

Perceraian bagi yang beragama islam dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Hal ini diterangkan dalam Pasal 1 angka (1) dan (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009TentangPerubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama yang berbunyi :

(1)   Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.

(2)   Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di lingkungan peradilan agama

 

Dan Pasal 49 butir (a) Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 3 Tahun 2006TentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama yang berbunyi :

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beraga islam dibidang :

a.    Perkawinan,

 

Lalu, Pasal 8 KHI menyebutkan “Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak

 

Kemudian menurut Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam yang mengatakan pengadilan hanya dapat dilakukan didepan pengadilan agama setelah pengadilan agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Tujuan dari diadakannya mediasi sebelum pembacaan surat gugatan dilakukan agar apabila ada keinginan rujuk dan tidak jadi bercerai. Maka mediasi dianggap berhasil dan apabila tidak tercapai sepakat diantara keduanya barulah memasuki pembacaan gugatan di Pengadilan Agama dan mediasi ini merupakan hal yang wajib sebagaimana Pasal 6 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan karena upaya hukum dipengadilan merupakan jalan terakhir yang ditempuh.

 

Namun demikian apabila istri yang mengajukan gugatan cerai di Pengadilan Agama. Istri tidak mendapatkan haknya yakni mengenai uang iddah maupun uang mut’ah. Sedangkan apabila suami yang mengajukan permohonan cerai talak. Istri dapat memintakan hal tersebut kepada Pengadilan agar suami memberikan uang iddah maupun mut’ah. Hal tersebut dirasa belum memenuhi rasa keadilan bagi istri. Akan tetapi Mahkamah Agung sebagai lembaga Yudikatif di Indonesia memberikan terobosan-terobosan untuk mengisi kekosongan hukum yang terjadi di masyarakat yang tujuannya agar terciptanya rasa keadilan dengan mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan pada Huruf C angka (1) huruf (b) yang berbunyi :

 

“Dalam rangka pelaksanaan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum untuk memberi perlindungan hukum bagi hak-hak perempuan pasca perceraian, maka amar pembayaran kewajiban suami terhadap istri pasca perceraian dalam perkara cerai gugat dapat menambahkan kalimat sebagai berikut : “.... yang dibayar sebelum Tergugat mengambil akta cerai”, dengan ketentuan amar tersebut dinarasikan dalam posita maupun petitum gugatan.”

 

Agar perempuan yang mengajukan gugatan cerai dapat dilindungi hak-haknya dapat memintakan hal tersebut kepada Pengadilan. Demikian artikel ini, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinansebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009TentangPerubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama

 

Undang-Undang Republik IndonesiaNomor 3 Tahun 2006TentangPerubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989Tentang Peradilan Agama

 

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

 

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

 

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019.

Jenis dan Hak Atas Tanah

 

Tanah merupakan aset berharga bagi sebagian orang yang mana setiap tahun harga tanah tidak pernah turun melainkan semakin lama semakin mahal atau tinggi. Hal inilah yang membuat banyak terjadinya sengketa tanah di Indonesia dikarenakan nilai dari tanah sangatlah tinggi dan berharga. Maka pendaftaran terhadap tanah yang dimiliki oleh seseorang menjadi sangat penting untuk didaftarkan ke instansi pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional agar pemilik tanah tersebut memperoleh perlindungan hukum atas tanah miliknya dan beberapa waktu yang lalu justru Presiden Republik Indonesia memprogramkan adanya pendaftaran tanah secara nasional atau yang disebut dengan PRONA karena sengketa tanah memakan waktu yang cukup lama dan tidak sebentar.

Namun demikian untuk mengatur mengenai kepemilikan suatu hak atas tanah, Negara Republik Indonesia telah mengeluarkan peraturan yang mengatur mengenai kepemilikan hak atas suatu tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan peraturan turunannya yang mengatur jenis-jenis hak atas tanah dan hapusnya hak atas tanah tersebut.

Akan tetapi kali ini kita akan membahas mengenai jenis-jenis hak atas tanah dan hapusnya hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun yang mana terdapat beberapa jenis kepemilikan suatu hak atas tanah dan hapusnya hak atas tanah yakni sebagai berikut :

1.     Hak Milik (HM)

Hak milik diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria mulai dari Pasal 20 sampai Pasal 27 UUPA merupakan hak terkuat, terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik hanya dapat dimiliki oleh Warga Negara Indonesia yang mana hak milik dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan apabila seseorang ingin meminjam uang untuk keperluan modal usaha atau apapun selama tidak melanggar aturan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak milik tidak memiliki jangka waktu atau batasan waktu bagi seseorang yang memiliki hak milik tersebut dan hak milik dapat diwariskan untuk anak cucu keturunannya.

Hapusnya hak milik dapat terjadi dikarenakan :

a.    Tanahnya jatuh kepada Negara :

1.      Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18,

2.      Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya,

3.      Karena ditelantarkan,

4.      Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2)

b.    Tanahnya musnah.

2.    Hak Guna Usaha (HGU)

Hak Guna Usaha yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dimulai dari Pasal 28 sampai dengan Pasal 34 adalah hak untuk mengusahakan tanah yang kuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan.

Hak Guna Usaha hanya diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Hak Guna Usaha diberikan paling sedikit 5 hektar luasnya dan apabila luas tanahnya 25 hektar atau lebih. Maka diharuskan memakai investasi modal.

Hak Guna Usaha diberikan janga waktu untuk paling lama selama 25 Tahun. Sedangkan untuk perusahaan dapat diberikan paling lama 35 Tahun dan hak guna usaha dapat diperpanjang lagi selama 25 Tahun. Hak Guna Usaha dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain oleh Pemegang dari Hak Guna Usaha.

Seperti hak milik, Hak Guna Usaha pun dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.

Hapusnya Hak Guna Usaha dapat terjadi dikarenakan :

a.    Jangka waktunya berakhir,

b.    Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi,

c.    Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir,

d.    Dicabut untuk kepentingan umum,

e.    Ditelantarkan,

f.     Tanahnya musnah,

g.    Ketentuan dalam Pasal 30 ayat (2)

3.    Hak Guna Bangunan (HGB)

Hak Guna Bangunan yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dimulai dari Pasal 35 sampai dengan Pasal 40 adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dalam waktu yang paling lama 20 tahun.

Hak Guna Bangunan hanya diberikan kepada Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dan Hak Guna Bangunan dapat beralih atau dialihkan kepada pihak lain oleh Pemegang dari Hak Guna Bangunan.

Seperti hak milik dan Hak Guna Usaha. Hak Guna Bangunan pun dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.

Hapusnya Hak Guna Bangunan dapat terjadi dikarenakan :

a.    Jangka waktunya berakhir,

b.    Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak terpenuhi,

c.    Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir,

d.    Dicabut untuk kepentingan umum,

e.    Ditelantarkan,

f.     Tanahnya musnah,

g.    Ketentuan dalam Pasal 36 ayat (2)

4.    Hak Pakai (HP)

Hak Pakai yang diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria dimulai dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 43 adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Hak Pakai dapat diberikan kepada warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, dan badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

5.     Hak Atas Satuan Rumah Susun

Pengaturan mengenai hak atas satuan rumah susun diatur dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun. Hak atas satuan rumah susun diberikan oleh negara kepada pemiliknya dengan bukti kepemilikan berupa sertifikat (Pasal 9 UU Rumah Susun) dan hak atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada orang perseorangan atau badan hukum.

Hak atas satuan rumah susun dapat dijadikan jaminan hutang dengan pembebanan hipotik atau fidusia. (Pasal 12 UU Rumah Susun).

Hak atas tanah yang disebutkan diatas tersebut berbentuk Sertifikat yang diberikan oleh negara kepada pemilik yang sah atas tanah tersebut. Namun demikian masih terdapat hak atas tanah yang belum meningkatkan haknya berbentuk sertifikat yakni seperti Girik yang terdaftar di Buku C Kelurahan atau desa dimana tempat tanah tersebut berada atau terdapat Akta Jual Beli yang merupakan hak kepemilikan atas tanah yang belum bersertifikat. Sehingga untuk menilai keabsahan dari surat yang belum berbentuk sertifikat tersebut. Calon pembeli tanah diharuskan sangat teliti dalam menelaah dokumen-dokumen tanah yang belum berbentuk sertifikat tersebut agar tidak timbul kerugian akibat kelalaian atau kecerobohan dengan membeli tanah yang salah atau terdapat sengketa didalamnya.

Apabila ada masukan dan komentar silahkan tulis dikolom komentar. Demikian Artikel ini, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun

 

Senin, 25 September 2023

Mengenal Peradilan Agama Di Indonesia dan Kewenangannya

 

Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di Dunia. Oleh karena dengan penduduk mayoritas muslim yang besar dan banyak, tentu diperlukan suatu sistem hukum bagi orang-orang muslim. Di Indonesia terdapat beberapa Peradilan sesuai dengan Kebutuhannya diantaranya ialah Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Konstitusi. Peradilan-peradilan tersebut memiliki kewenangannya tersendiri yang mana tidak dapat disamakan kewenangan yang dimiliki oleh peradilan-peradilan tersebut.

 

Namun kali ini Penulis akan fokus membahas mengenai Peradilan Agama dan kewenangan dari peradilan agama itu sendiri. Peradilan Agama di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan seiring dengan perkembangan zaman serta kebutuhan masyarakat yang kian hari semakin banyak. Maka untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, peraturan perundang-undangan tentang peradilan agama telah berubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama merupakan peradilan bagi orang-orang yang beragama islam (Pasal 1 angka (1) UU No.50 Tahun 2009). Kekuasaan Kehakiman dilingkungan peradilan agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, sedangkan kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi (Pasal 3 UU No. 7 Tahun 1989).

 

Berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang :

a.    Perkawinan;

b.    Waris;

c.    Wasiat;

d.    Hibah;

e.    Wakaf;

f.     Zakat;

g.    Infaq;

h.    Shadawah; dan

i.      Ekonomi syari’ah.

 

Mengenai hukum acara yang digunakan dalam lingkungan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yakni menggunakan Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini (Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989). Khusus di daerah Naggroe Aceh Darussalam dibentuk peradilan khusus yakni Peradilan Syari’ah Islam yang merupakan masih termasuk kedalam lingkungan peradilan agama dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum (Pasal 3A ayat (2) UU No. 50 Tahun 2009).

 

Maka, jelas lah kewenangan Peradilan Agama di Indonesia. Demikian artikel ini semoga bermanfaat, apabila ada kritik dan saran silahkan tambahkan dikolom komentar, terima kasih.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Mengenal Asas Hukum Lex Spesialis Derogat Legi Generali

 

Di Indonesia peraturan perundang-undangan yang dibuat, dimana jumlahnya sangat banyak karena banyak sekali hal-hal yang terjadi dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat yang harus diatur dan diberikan payung hukum agar segala macam bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang terhadap orang lain atau pihak lain mendapat ganjaran hukuman sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh orang tersebut serta masyarakat memperoleh jaminan kepastian hukum.

 

Salah satu asas yang ada dalam ilmu hukum ialah asas Lex specialis derogat legi generali yang memiliki makna aturan hukum yang khusus mengesampingkan aturan hukum yang umum. Kehidupan masyarakat setiap hari atau zaman akan selalu berkembang, oleh karenanya hukum pun harus berkembang mengikuti perkembangan zaman manusia demi terciptanya keselarasan dalam kehidupan masyarakat dan menjamin kepastian hukum. Maka dari itu tentunya harus ada perubahan terhadap aturan hukum yang ada karena aturan hukum yang lama dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman yang ada dan tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat apabila masih menggunakan aturan hukum yang ada.

 

Seperti contoh adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mengesampingkan KUHP dan KUHPerdata. Dengan adanya internet di zaman sekarang ini, orang dapat dengan mudah mengakses informasi melalui internet dan orang dapat dengan mudah melakukan hubungan jual-beli dengan jarak jauh tanpa harus bertatap muka. Namun, apabila terjadi penyalahgunaan yang tidak bertanggung jawab dari mengakses informasi secara elektronik apalagi berita bohong.Pelaku tindak pidana yang menyalahgunakan informasi elektronik yang merugikan bagi orang lain akan dijerat menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik bukan menggunakan KUHP. Sedangkan apabila terjadi pelanggaran dalam hubungan jual-beli yang dilakukan secara elektronik, pengaturannya menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, bukan menggunakan KUHPerdata lagi yang tujuannya apabila terjadi sengketa terhadap para pelaku bisnis. Pihak yang dirugikan dapat menuntut hak-haknya dan dilindungi oleh hukum.

 

Maka dengan adanya undang-undang yang khusus akan mengesampingkan undang-undang yang umum agar semua tindak dan perilaku sesuai dengan koridor hukum yang berlaku yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat secara luas dari tindakan-tindakan yang merugikan bagi dirinya.

 

Demikian artikel ini semoga bermanfaat, apabila ada kritik dan saran silahkan tambahkan dikolom komentar, terima kasih.

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

 

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kamis, 21 September 2023

Jenis-jenis Peraturan Perundang-Undangan

 

Hierarki menurut kamus besar bahasa Indonesia memiliki pengertian urutan tingkatan atau jenjang jabatan (pangkat kedudukan). Sedangkan hierarki peraturan perundang-undangan bisa dianalogikan yakni jenjang atau tingkatan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia sendiri terlalu banyak peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk mengatur segala jenis urusan yang mana semua hal yang dilakukan oleh warga negara yang berada di wilayah Indonesia tidak terlepas harus mengikuti dan mentaati semua peraturan yang ada di Indonesia.Namun terlalu banyaknya jenis aturan yang bahkan tidak terhitung jumlahnya terkadang membuat bingung masyarakat karena setiap instansi pemerintah memiliki aturan sendiri-sendiri dan maka dari itu membuat masyarakat bingung mengenai tata urutan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia saat ini. Dalam membuat Peraturan Perundang-Undangan, pemerintah tentunya memiliki landasan hukum untuk membentuk suatu aturan yang mengharuskan atau mewajibkan masyarakat untuk mematuhi dan mengikuti semua aturan yang dibuat oleh pemerintah yang mana tujuan dibuatnya aturan tersebut agar setiap tindakan baik maupun buruk mendapat payung hukum dan menerima ganjaran yang setimpal, akan tetapi untuk mengetahui manakah peraturan yang lebih rendah atau lebih tinggi?. Aturan hukum yang lebih tinggi dapat mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah. Hal ini dikenal dengan asas hukum Lex superior derogat legi inferior.

 

 

Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mana Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memiliki pengertian pembuatan Peraturan Perundang-undangan yangmencakup tahapan perencanaan, penyusunan,pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan (Pasal 1 angka (1) UU 12 Tahun 2011) dan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturantertulis yang memuat norma hukum yang mengikatsecara umum dan dibentuk atau ditetapkan olehlembaga negara atau pejabat yang berwenang melaluiprosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan (Pasal 1 angka (2) UU No. 12 Tahun 2011). Pengaturan mengenai hierarki peraturan perundang-undangan mana saja yang lebih tinggi dan peraturan mana saja yang lebih rendah diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 yang isinya :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a.    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b.    Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

c.    Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

d.    Peraturan Pemerintah

e.    Peraturan Presiden

f.     Peraturan Daerah Provinsi; dan

g.    Peraturan Daerah Kabupaten/Kota

 

Walaupun demikian peraturan yang dibuat oleh lembaga negara yang lain seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dll diatur dalam Pasal 8 UU No. 12 Tahun 2011 yang berbunyi :

1.    Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

 

2.    Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

 

Maka dari itu aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi dan apabila hal tersebut ditemui secara otomatis aturan hukum tersebut batal demi hukum. Sedangkan aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan hukum yang lebih rendah darinya seperti contoh Undang-Undang mengesampingkan Peraturan Pemerintah.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar.

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.