Dalam
setiap peristiwa apapun baik yang berhubungan dengan suatu peristiwa tindak
pidana atau pun peristiwa hubungan keperdataan, keberadaan saksi menjadi
penting untuk memperkuat apa yang dituntut oleh seseorang atau terhadap
seseorang. Didalam hukum acara baik pidana maupun perdata di Indonesia. Saksi
merupakan salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184
ayat (1) butir (a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg. Walaupun saksi
merupakan salah satu alat bukti dalam hukum acara pidana dan perdata, akan
tetapi tidak semua orang dapat memberikan kesaksiannya dalam perkara pidana
maupun perkara perdata. Ada beberapa orang yang karena keadaannya tidak dapat
di jadikan sebagai saksi atau dapat dikatakan tidak layak didengar kesaksiannya
karena terdapat hubungan tertentu yang mengakibatkan seseorang tidak dapat
memberikan kesaksiannya di pengadilan karena khawatir kesaksiannya tidak akan
objektif terhadap perkara yang dipersidangkan.
Sebelum
saksi yang diajukan didalam persidangan perdata maupun pidana, terlebih dahulu
saksi akan disumpah menurut kepercayaannya dan melafalkan kata-kata sumpah yang
dipandu oleh petugas yang berwenang dipengadilan. Hal ini agar saksi dalam
memberikan keterangannya setelah disumpah tidak berbohong atau mengarang cerita
atau dibuat-buat keterangannya dan memberikan keterangan sebagai saksi secara
objektif. Didalam KUHAP ataupun HIR,
LARANGAN SAKSI DALAM
HUKUM PIDANA
Dalam
hukum acara pidana, aturan main dalam persidangan pidana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) dimana saksi haruslah orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri
atau mengalami sendiri, akan tetapi pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010 saksi tidak dimaknai
termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Dalam
KUHAP, seseorang dipandang tidak dapat atau terhalang sebagai saksi dikarenakan
adanya hubungan darah atau semenda. Keluarga semenda menurut Pasal 295 ayat (1)
KUHPerdata yakni kekeluargaan semenda adalah satu pertalian kekeluargaan karena
perkawinan, yaitu pertalian antara salah seorang dari suami istri dan keluarga
sedarah dari pihak lain. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud
dengan keluarga semenda adalah pertalian keluarga karena perkawinan.
Berikut
orang yang terhalang menjadi saksi dalam Hukum Acara Pidana sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 168 KUHAP adalah :
Kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat
mengundurkan diri sebagai saksi:
a) keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas
atau ke bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa.
b) saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagal
terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan
karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal derajat ketiga
c) suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau
yang bersama-sama sebagai terdakwa.
LARANGAN SAKSI DALAM
HUKUM PERDATA
Berbeda
dengan Hukum Acara Pidana, larangan seseorang dalam memberikan kesaksian dalam
hukum acara perdata diatur dalam HIR yang mana orang yang tidak boleh menjadi
saksi dalam hukum acara perdata sebagaimana yang diatur dalam Pasal 145 ayat
(1) dan Pasal 146 HIR adalah :
Pasal 145 HIR
1)
yang tidak boleh
didengar sebagai saksi adalah:
1. keluarga sedarah dan keluarga semenda salah satu pihak
dalam garis lurus;
2. istri atau suami salah satu pihak, meskipun sudah
bercerai;
3. anak-anak yang umumnya tidak dapat diketahui pasti, bahwa
mereka sudah berusia Lima belas tahun;
4. orang gila, meskipun kadang-kadang ingatannya terang.
Pasal 146 HIR
(1) Yang boleh mengundurkan diri dari memberi kesaksian
adalah:
1. saudara dan ipar dari salah satu pihak, baik laki-laki
maupun perempuan;
2. keluarga sedarah dalam garis lurus dan saudara laki-laki
dan perempuan dari suami atauistri salah satu pihak;
3. sekalian orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya
yang sah, diwajibkan menyimpan rahasia, tetapi semata-mata hanya tentang hal
yang diberitahukankepadanya karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya itu.
(2) Pengadilan negerilah yang akan menimbang benar tidaknya
keterangan seorang, bahwa ia diwajibkan menyimpan rahasia.
Oleh
karenanya jelas orang yang memiliki hubungan darah maupun perkawinan tidak
boleh atau tidak layak memberikan kesaksiannya dalam persidangan perdata, akan
tetapi karyawan atau pekerja atau memiliki hubungan pekerjaan tidak ada
larangan dalam memberikan kesaksiannya dalam persidangan perdata. Banyak orang yang
salah menilai bahwasanya karyawan tidak layak sebagai saksi dalam persidangan
perdata karena karyawan menerima upah atau memiliki hubungan kerja. Padahal
didalam Hukum Acara Perdata tidak ada larangan tersebut. Terlepas dari hal
karyawan atau pekerja yang memberikan kesaksian tidak objektif merupakan
kewenangan hakim.
HUKUM KELUARGA
Hukum
keluarga merupakan salah satu hukum perdata. Namun hukum keluarga hanya
membahas mengenai keluarga saja. Mengenai hukum keluarga terdapat pengecualian
untuk saksinya. Bila dalam hukum pidana maupun hukum perdata, orang yang
memiliki hubungan darah maupun perkawinan dilarang memberikan kesaksiannya
didalam persidangan, akan tetapi hukum keluarga memperbolehkan orang yang
memiliki hubungan darah ataupun perkawinan menjadi saksi dan diangkat sumpah
sebelum memberikan kesaksiannya dalam persidangan dikarenakan permasalahan yang
dibahas adalah keluarga contohnya Perceraian. Jadi yang mengetahui tentang
permasalahan tersebut adalah keluarganya sebagaimana Pasal 146 ayat (2) HIR
yakni :
Akan tetapi keluarga
sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara
tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang
suatu perjanjian kerja.
Dalam
Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Sebagaimana telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan
diubah lagi olehUndang-Undang Nomor 50 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama :
Apabila gugatan perceraian
didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus
didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang
yang dekat dengan suami istri.
Sedangkan
menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan menjelaskan Penyelesaian perkara penceraian
dengan alasan syiqaq menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sejak awal
diajukan gugatan harus berdasarkan alasan syiqaq. Oleh karena itu keluarga
wajib dijadikan saksi dibawah sumpah.
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1975 Tentang Perkawinan Pasal 22 ayat (2) berbunyi :
Gugatan tersebut
dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan
mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itudan setelah mendengar
pihak keluarga serta orang-orang yang dekatdengan suami-isteri itu.
Jadi
terhadap perkara perceraian dalam hukum keluarga, saksi yang memiliki hubungan
darah atau perkawinan boleh diambil sumpah sebelum memberikan kesaksian.
Demikian artikel ini, semoga
bermanfaat, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar.
Referensi
:
Kamus
Besar Bahasa Indonesia
Dasar
Hukum :
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 1847 No. 23)
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Herzien
Indonesis Reglement atau Reglemen Indonesia Baru (Stbl 1984: No. 16 yang
diperbaharui dengan Stbl 1941 No. 44)
Rechtsreglement
Buitengewesten atau Reglemen Untuk Daerah Seberang (Stbl. 1927 No. 227)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagaimana telah diubah atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah lagi olehUndang-Undang Nomor 50 Tahun 2009tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1975 Tentang Perkawinan
Surat
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas
Bagi Pengadilan