Praperadilan memiliki pengertian
menurut Pasal 1 angka 10 KUHAPadalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa
dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. sah
atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
b. sah
atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas
permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Pengaturan
mengenai Praperadilan diatur oleh Pasal 77 KUHAP yakni mengenai sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan yang dipimpin oleh
seorang hakim tunggal (Pasal 78 ayat (2) KUHAP) yang mana dalam waktu tujuh
hari harus sudah diputus oleh hakim (Pasal 81 ayat (1) butir (c) KUHAP). Upaya
hukum praperadilan merupakan upaya hukum yang diberikan oleh negara kepada
tersangka untuk memperjuangkan hak-haknya apabila dirasa oleh dirinya ada
kejanggalan atau ketidak beresan dalam prosedur sah atau tidaknya penghentian
penyidikan atau penuntutan, penangkapan, penahanan, penyitaan, maupun penetapan
tersangka atas dirinya oleh penyidik maupun penuntut umum karena sejatinya
penyidik maupun penuntut umum hanyalah manusia biasa dan pastinya ada salahnya.
Beberapa
tahun belakangan ini semakin banyak orang atau tersangka yang mengajukan upaya
praperadilan. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,
kewenangan Praperadilan semakin diperluas bukan hanya soal penahanan atau penghentian
penyidikan atau penuntutan tetapi diperluas lagi soal penetapan tersangka dan
penyitaan. Terhadap Putusan Pra Peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum
banding sebagaimana Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi dalam Pasal 83 ayat
(2) KUHAP menyatakan Pra Peradilan dapat dimintakan banding apabila mengenai
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Walaupun dalam Pasal
83 ayat (2) KUHAP menyatakan putusan pra peradilan dapat dimintakan upaya hukum
banding. Sekali lagi Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwasanya Pra
peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum banding dengan dibatalkannya Pasal
83 ayat (2) KUHAP melalui putusannya Nomor 65/PUU-IX/2011.
Walaupun
demikian, pengaturan didalam KUHAP tidak menjelaskan apakah upaya hukum
praperadilan dapat diajukan upaya hukum Kasasi atau Peninjauan Kembali yang
mana hal tersebut menjadi celah hukum untuk mengajukan upaya hukum dari salah
satu pihak yang tidak puas terhadap putusan praperadilan yang diperiksa oleh
hakim pada pengadilan tingkat pertama. Dengan demikian apabila putusan
praperadilan yang hakikatnya merupakan pemeriksaan peradilan yang cepat karena
harus diputus dalam waktu tujuh hari sejak sidang pertama dilakukan. Apabila
praperadilan dapat dimintakan upaya hukum tentunya akan menimbulkan ketidakpastian
hukum. Maka dari itu Mahkamah Agung mengeluarkan Buku II Pedoman Teknis
Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus dalam halaman
56 Tahun 2007 menegaskan menolak Upaya Hukum Kasasi terhadap putusan
praperadilan. Sedangkan untuk upaya hukum peninjauan kembali pun tidak dapat
dilakukan terhadap putusan praperadilan sebagaimana Pasal 3 ayat (1) Peraturan
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan
Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.
Oleh
karena itu jelas jika tidak ada upaya hukum apapun terhadap putusan
praperadilan dengan alasan apapun dan putusan praperadilan yang dijatuhkan oleh
hakim pada pengadilan tingkat pertama merupakan putusan akhir dan mengikat.
Demikian
artikel ini, semoga bermanfaat.
Referensi
:
Buku
II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana
Khusus dalam halaman 56 Tahun 2007
Dasar
Hukum :
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011