Senin, 13 Februari 2023

Keluarga Dapat Menjadi Saksi dalam Perkara Perceraian

 Dalam hubungan perkawinan tidak semuanya berjalan mulus atau hingga maut memisahkan, banyak juga pasangan yang telah menikah yang kandas ditengah jalan karena berbagai faktor yang mana harus berujung dengan adanya perpisahan atau perceraian. Perceraian masuk dalam kategori hukum keluarga dimana hukum acara yang mengatur mengenai perceraian adalah Hukum Acara Perdata.

 

Di Indonesia terdapat beberapa agama yang diakui oleh negara yang mana pengaturan mengenai perceraian diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Bagi orang yang beragama Islam ditambah dengan Kompilasi Hukum Islam.

 

Pengajuan perkara perceraian bagi orang yang beragama Islam harus mengajukan ke Peradilan Agama yang merupakan peradilan yang hanya dikhususkan bagi orang yang beragama islam sebagaimana Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi “Peradilan Agama Adalah Peradilan bagi orang-orang yang beragama islam”, dan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi :

 

Peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

 

Sedangkan bagi orang yang selain beragama islam, pengajuan perkara cerai melalui peradilan umum. Dalam perkara perceraian, keluarga di perbolehkan sebagai saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang berbunyi :

 

Pasal 76

(1)  Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan syiqaq, maka untuk mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami istri.

 

(2)  Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat persengketaan antara suami istri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.

 

Dan Pasal 22 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi :

 

Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu.

Dalam ketentuan Pasal 146 ayat (2) HIR yakni :

Akan tetapi keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi dalam perkara tentang keadaan menurut hukum perdata kedua pihak yang berperkara atau tentang suatu perjanjian kerja.

 

Sedangkan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan menjelaskan Penyelesaian perkara penceraian dengan alasan syiqaq menurut Pasal 76 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, sejak awal diajukan gugatan harus berdasarkan alasan syiqaq. Oleh karena itu keluarga wajib dijadikan saksi dibawah sumpah.

 

Maka dari itu, keluarga dapat menjadi saksi dalam perkara perceraian.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat. Apabila ada saran dan kritik silahkan tambahkan dikolom komentar.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

 

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

 

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama

 

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

 

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

 

Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

 

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar