Jumat, 10 Februari 2023

Apa itu Isbat Nikah ?

 Isbat Nikah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah, atau yang lebih dikenal dengan istilah nikah siri karena nikah siri pada dasarnya persyaratan pernikahannya telah terpenuhi. Namun tidak tercatat di negara. Negara Indonesia tidak mengakui perkawinan atau pernikahan yang tidak dicatatkan kepada Negara dan tidak memiliki kekuatan hukum. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

 

Untuk orang yang beragama islam, mengenai perkawinan diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Yang mana menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum. Oleh karena itu sangat penting mencatatkan pernikahan atau perkawinan bagi orang yang beragama islam agar memiliki status hukum dan diakui oleh negara karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah (Pasal 7 ayat (1) KHI).

 

Apabila ada orang yang belum mencatatkan pernikahannya ke negara, tentunya diharuskan mencatatkan ke negara agar tidak terkendala hal apapun baik bagi dirinya maupun anak keturunannya dalam hal administrasi kependudukan. Oleh karenanya dengan mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama sebagaimana Pasal 7 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Lalu, Pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menegaskan yang dapat mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan agama ialah suami, istri, anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dalam perkawinan itu. Dalam Pasal 36 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana yang telah diubah oleh undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi :

“Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan”

 

Dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) dan Pasal 35 butif (b) Undang-Undang Administrasi Kependudukan berbunyi :

 

Pasal 34 Ayat (1)

Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

 

Pasal 34 ayat (4)

Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.

 

Pasal 35 butir (b)

Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34

berlaku pula bagi:

a.    perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan

 

Demikian artikel ini, apabila ada kritik dan saran silahkan tulis dikolom komentar, semoga bermanfaat.

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar