Isbat Nikah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki pengertian penetapan tentang kebenaran (keabsahan) nikah, atau yang lebih dikenal dengan istilah nikah siri karena nikah siri pada dasarnya persyaratan pernikahannya telah terpenuhi. Namun tidak tercatat di negara. Negara Indonesia tidak mengakui perkawinan atau pernikahan yang tidak dicatatkan kepada Negara dan tidak memiliki kekuatan hukum. Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing dan Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Untuk orang yang beragama islam, mengenai
perkawinan diatur melalui Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam. Yang mana menurut ketentuan Pasal 6 ayat
(2) Kompilasi Hukum Islam, perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai
pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan
hukum. Oleh karena itu sangat penting mencatatkan pernikahan atau
perkawinan bagi orang yang beragama islam agar memiliki status hukum dan diakui
oleh negara karena perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang
dibuat oleh pegawai pencatat nikah (Pasal 7 ayat (1) KHI).
Apabila ada orang yang belum
mencatatkan pernikahannya ke negara, tentunya diharuskan mencatatkan ke negara
agar tidak terkendala hal apapun baik bagi dirinya maupun anak keturunannya
dalam hal administrasi kependudukan. Oleh karenanya dengan mengajukan
permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama sebagaimana Pasal 7 ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam. Lalu, Pasal 7 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam menegaskan yang dapat
mengajukan permohonan itsbat nikah ke pengadilan agama ialah suami, istri,
anak-anak mereka, wali nikah, dan pihak yang berkepentingan dalam perkawinan
itu. Dalam Pasal 36 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana yang telah diubah oleh undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan yang berbunyi :
“Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta
Perkawinan, pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan
pengadilan”
Dan
Pasal 34 ayat (1) dan ayat (4) dan Pasal 35 butif (b) Undang-Undang
Administrasi Kependudukan berbunyi :
Pasal 34 Ayat (1)
Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan
wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya
perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
Pasal 34 ayat (4)
Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi
Penduduk yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.
Pasal 35 butir (b)
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
berlaku pula bagi:
a.
perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
Demikian
artikel ini, apabila ada kritik dan saran silahkan tulis dikolom komentar,
semoga bermanfaat.
Referensi
:
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Dasar
Hukum :
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar