Selasa, 31 Januari 2023

Pengertian Penggugat, Tergugat, dan Turut Tergugat

Dalam Hukum Acara Perdata, terdapat pihak-pihak yang bersengketa yang mana pihak yang mengajukan gugatan disebut sebagai Penggugat, Tergugat adalah pihak yang diduga telah melanggar haknya Penggugat. Sedangkan Turut Tergugat merupakan pihak yang harus dilibatkan dalam suatu perkara agar perkara yang diajukan tidak kurang pihak yang mana turut tergugat dimasukkan karena memiliki peran secara tidak langsung diduga telah membantu Tergugat untuk melanggar hak Penggugat.

 

Penggugat memiliki pengertian dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang mengajukan gugatan ke pengadilan karena haknya dilanggar, Tergugat memiliki pengertian dalam KBBI adalah orang yang digugat. Sedangkan Turut Tergugat adalah pihak yang tidak menguasai barang sengketa atau tidak berkewajiban untuk melakukan sesuatu. Namun, demi lengkapnya suatu gugatan, maka mereka harus disertakan.

 

Apabila suatu gugatan oleh Pengadilan dikabulkan pihak Turut Tergugat biasanya tidak ikut menjalankan isi dari putusan, akan tetapi hanya tunduk dan patuh terhadap putusan Pengadilan tersebut. maka dari itu perlu diperhatikan oleh Penggugat yang akan mengajukan gugatan agar cermat dan teliti dalam menentukan pihak Tergugat ataupun Turut Tergugat yang harus dimasukkan dalam surat gugatannya.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

Menentukan Pengadilan Yang Berwenang Untuk Mengajukan Gugatan Perdata

Gugatan Perdata diajukan oleh Pihak yang merasa haknya dilanggar oleh pihak lain yang mana dalam membuat sebuah gugatan perdata tentunya harus cermat dalam menentukan pengadilan yang berwenang untuk mengadili gugatan yang diajukan tersebut.

 

Jangan sampai salah memilih Pengadilan yang nantinya akan mengakibatkan gugatan yang diajukan tidak akan diterima dikarenakan Pengadilan Yang Menerima gugatan tidak berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan itu.

 

Dalam Hukum Acara Perdata, untuk menentukan Pengadilan Yang Berwenang untuk mengadili gugatan yang diajukan diatur dalam Pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg yang berbunyi :

 

Pasal 118 HIR

(1)  Tuntutan (gugatan) perdata yang pada tingkat pertama termasuk lingkup wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat permintaan (surat gugatan) yang ditandatangan oleh penggugat, atau oleh wakilnya menurut pasal 123, kepada ketua pengadilan negeri di tempat diam si tergugat, atau jika tempat diamnya tidak diketahui, kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggalnya yang sebenamya. (KUHPerd. 15; IR. 101 .)

 

(2)  Jika yang digugat lebih dari seorang, sedang mereka tidak tinggal di daerah hukum pengadilan negeri yang sama, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat salah seorang tergugat yang dipilih oleh penggugat. Jika yang digugat itu adalah seorang debitur utama dan seorang penanggungnya maka tanpa mengurangi ketentuan pasal 6 ayat (2) "Reglemen Susunnan Kehakiman dan Kebijaksanaan mengadili di Indonesia", tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal debitur utama atau salah Seorang debitur utama.

 

(3)  Jika tidak diketahui tempat diam si tergugat dan tempat tinggalnya yang sebenarnya, atau jika tidak dikenal orangnya, maka tuntutan itu diajukan kepada ketua pengadilan negeri di tempat tinggal penggugat atau salah seorang penggugat, atau kalau tuntutan itu tentang barang tetap, diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak barang tersebut.

 

(4)  Jika ada suatu tempat tinggal yang dipilih dengan surat akta, maka penggugat, kalau mau, boleh mengajukan tuntutannya kepada ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal yang dipilih itu. (Ro. 95-11, 4', 5'; KUHPerd. 24; Rv. 1, 99; IR. 133, 238.)

 

Pasal 142 Rbg

(1)  Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang pengadilan negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam pasal 147, dengan suatu surat permohonan yang ditanda-tangani olehnya atau oleh kuasa tersebut dan disampaikan kepada ketua pengadilan negeri yang menguasai wilayah hukum tempat tinggal tergugat atau, jika tempat tinggalnya tidak diketahui di tempat tinggalnya yang sebenarnya.

 

(2)  Dalam hal ada beberapa tergugat yang tempat tinggalnya tidak terletak di dalam wilayah satu pengadilan negeri, maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri yang berada di wilayah salah satu di antara para tergugat, menurut pilihan penggugat. Dalam hal para tergugat berkedudukan sebagai debitur dan penanggungnya, maka sepanjang tidak tunduk kepada ketentuan-ketentuan termuat dalam ayat (2) pasal 6 Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di Indonesia (selanjutnya disingkat RO.) gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri tempat tinggal orang yang berutan pokok (debitur pokok) atau seorang diantara para debitur pokok.

 

(3)  Bila tempat tinggal tergugat tidak dikenal, dan juga tempat kediaman yang sebenarnya tidak dikenal atau maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri ditempat tinggal salah satu dari para penggugat.

 

(4)  jika telah dilakukan pilihan tempat tinggal dengan suatu akta, maka penggugat dapat memajukan gugatannya kepada ketua pengadilan negeri di tempat pilihan itu.

 

(5)  Dalam gugatannya mengenai barang tetap maka gugatan diajukan kepada ketua pengadilan negeri di wilayah letak barang tetap tersebut; jika barang tetap itu terletak di dalam wilayah beberapa pengadilan negeri gugatan itu diajukan kepada salah satu ketua pengadilan negeri tersebut atas pilihan penggugat. (IR. 119.)

 

Maka dari itu pihak yang mengajukan gugatan terhadap pihak-pihak yang dirasa telah merugikan haknya agar tidak salah dalam menentukan mengajukan ke Pengadilan Yang Berwenang.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Herzien Inlandsch Reglement (HIR)

Reglement Voor De Buitengewesten (Rbg)

Orang Yang Tidak Cakap Untuk Membuat Perjanjian Dalam Hukum Perdata

Perjanjian memiliki pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satunya adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu yang memiliki syarat, tenggang waktu atau tempo.

 

Syarat sah perjanjian tertuang dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi :

 

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;

1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. suatu pokok persoalan tertentu;

4. suatu sebab yang tidak terlarang.

 

Akan tetapi dalam hukum perdata, terdapat orang yang dianggap tidak cakap untuk membuat perjanjian sebagaimana Pasal 1330 KUH Perdata yang berbunyi :

 

Yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah;

1.    anak yang belum dewasa;

2.    orang yang ditaruh di bawah pengampuan;

3.    perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk membuat persetujuan tertentu.

 

Maka dari itu, dalam membuat suatu perjanjian atau persetujuan haruslah melihat ketentuan dari Pasal 1330 KUH Perdata.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Lahirnya Perikatan dan Kewajiban dari Perikatan Dalam Hukum Perdata

Perikatan atau perjanjian antara para pihak yang membuatnya lahir karena adanya suatu persetujuan atau karena Undang-Undang (Pasal 1233 KUH Perdata).

 

Terhadap para pihak yang mengikatkan diri dalam suatu perjanjian tentunya memiliki kewajiban masing-masing yang harus dijalankan karena adanya suatu perjanjian dan apabila melanggar tentunya terdapat konsekuensi ataupun sanksi.

 

Perikatan dalam hukum Perdata ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu sesuai Pasal 1234 KUH Perdata. Apabila dalam suatu perjanjian atau perikatan terdapat salah satu pihak yang tidak menjalankan kewajibannya. Maka pihak tersebut disebut ingkar janji atau wanprestasi yang mana pihak lain yang merasa dirugikan dapat mengajukan tuntutan kepada pihak yang melanggar perikatan atau perjanjian tersebut.

 

Contoh perikatan untuk memberikan sesuatu biasanya terjadi dalam jual-beli barang dimana pihak pembeli akan memberikan uang sebagai alat pembayaran. Sedangkan penjual akan memberikan barang yang telah dibeli oleh pembeli tersebut.

 

Contoh perikatan untuk berbuat sesuatu biasanya terjadi dalam penggunaan jasa dimana pengguna jasa atau penyewa jasa akan memberikan sejumlah pembayaran atas jasa yang akan digunakan. Sedangkan penyedia jasa akan memberikan pelayanan jasa sesuai permintaan dari pengguna jasa.

 

Contoh perikatan untuk tidak berbuat sesuatu biasanya terjadi antara pabrik dan distributor dimana pabrik dilarang menunjuk distributor lain selain distributor yang telah ditunjuk sesuai perjanjian yang telah dibuat.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata