Kamis, 10 Agustus 2023

Perkawinan Campuran dan Pencatatannya di Indonesia

Perkawinan dapat terjadi tidak hanya bagi sesama warga negara yang berdiam tempat disatu negara, akan tetapi dapat juga terjadi dengan penduduk atau warga negara asing atau (WNA) atau biasa diistilahkan dengan perkawinan campuran.

 

Aturan tentang Perkawinan di Indonesia telah diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

 

Perkawinan Campuran di Indonesia diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yakni “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

 

Lebih jauh menurut ketentuan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi sebagai berikut :

1.    Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.

2.    Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

3.    Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.

4.    Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).

5.    Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.

 

Perkawinan Campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang sebagaimana Pasal 61 ayat (1) UU Perkawinan. Adapun mengenai pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam Pasal 34 dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

 

Pencatatan perkawinan pun lebih jauh diatur dalam ketentuan Pasal 37 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

 

Maka dari itu, perkawinan campuran di Indonesia tetap diakui sepanjang syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan terkait hal tersebut telah terpenuhi. Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Referensi :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

 

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar