Bab
3
Konsep
Perikatan (Akad)
Dalam
Hukum Islam
A. Pengertian
Perikatan (AKAD)
Setidaknya ada 2(dua) istilah
dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-aqdu(akad) dan al-ahdu(janji).
Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Ikatan(al-rabth) maksudnya adalah menghimpun
atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang
lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
Kata al-aqdu ini dapat disamakan
dengan istilah verbintenis dalam
KUHPerdata. Istilah al-‘ahdu dapat
disamakan dengan perjanjian atau overeenkomst.
Para ahli Hukum Islam(jumhur
Ulama) memberikan definisi Akad
sebagai “pertalian antara ijab dan kabul yang di benarkan oleh syara yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya.” Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan(al-‘aqdu) melalui tiga tahap yaitu :
1. Al
‘ahdu(perjanjian)
2. Persetujuan
3. Apabila kedua janji tersebut di laksanakan,
maka terjadi apa yang di namakan ‘akdu’
oleh Al-Qur’an yang terdapat dalam QS.al-Maidah(5).
Sebagai contoh A menyatakan janji
untuk membeli sebuah mobil, maka A dan B berada pada tahap ‘ahdu. Apabila merek mobil dan harga
mobil disepakati oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji
tersebut dilaksanakan, misalnya dengan membayar DP terlebih dahulu oleh A, maka
terjadi perikatan atau ‘akdu di
antara keduannya.
Proses perikatan ini tidak
terlalu berbeda dengan proses perikatan yang di kemukakan oleh Subekti di
dasarkan pada KUHPerdata. Menurut subekti, perikatan adalah “suatu perhubungan
hukum antara dua orang atau dua pihak”. Sedangkan perjanjian adalah “suatu
peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang
itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. Hubungan antara perikatan
dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan seperti yang
tercantum dalam pasal 1233 KUHPerdata.
Perbedaan dalam proses perikatan
antara Hukum Islam dan KUHPerdata adalah pada tahap perjanjiannya :
-
Hukum Perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak
kedua(merupakan dua tahap), baru kemudian lahir perikatan.
-
KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan pihak
kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan di antara mereka.
B. Unsur-unsur
Akad
Dalam Akad ada tiga unsur yang
terkandung, yaitu :
1. Pertalian
ijab dan kabul
2. Dibenarkan
oleh syara’
3. Mempunyai
akibat hukum terhadap objeknya
a. Rukun
dan Syarat Perikatan Islam
Dalam
melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi.
Secara bahasa, rukun adalah yang
harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Syarat adalah ketentuan(peraturan,
petunjuk) yang harus di indahkan dan di lakukan. Secara definisi, rukun adalah suatu unsur yang merupakan
bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah
atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. Definisi syarat adalah sesuatu yang tergantung
padanya keberadaan hukum syar’i dan
ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun
tidak ada. Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqh, yaitu :
-
Rukun
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia ternasuk
dalam hukum itu sendiri,
-
Syarat
merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum.
Pendapat mengenai
rukun perikatan tau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam
beraneka ragam di kalangan para ahli fiqih. Di kalangan mazhab Hanafi
berpendapat, bahwa rukum akad hanya gighat
al-‘aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd(objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd
bukan merupakan bagian dari tasharruf
aqad (perbuatan hukum akad). Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan
mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab
al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena
kedua hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.
Jumhur ulama
berpendapat, bahwa rukun akad adalah al
‘aqidai, mahallul ‘aqd, dan sighat
al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafanaz-Zarqa menambah maudhu’ul’aqd (tujuan akad). Sedangkan
menurut T.M.Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan
komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad.
1. Sumber
Perikatan (Al-‘Aqidain)
Al-‘aqidain
adalah para pihak yang
melakukan akad. Dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum
sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali di artikan sebagai pihak pengemban
hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan
badan hukum.
a. Manusia
Manusia sebagai subjek Hukum
Perikatan adala pihak yang sudah dapat
di bebani hukum yangdi sebut dengan mukallaf.
Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang
berhubungan dengan tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Pada kehidupan
seseorang, ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat
dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari
tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the
stages of legal capaciti). Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli
Ushul Fiqh telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 5(lima) tahap
subjek Hukum(the stages of legal capaciti):
1. Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)
Tahap ini
dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam
keadaan hidup.
2. Marhalah al-Sba (childhood Stage)
Tahap ini
dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga berusia 7 (tujuh) tahun.
3. Marhalah al-Tamyiz (discernment stage)
Tahapan ini di mulai sejak seseorang berusia
7(tujuh) tahun hingga masa pubertas (aqil-baligh).
4. Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty)
Pada tahap ini
seseorang telah mencapai mukallaf.
5. Daur al-Rushd (Stage of Prudence)
Pada tahap ini
kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum, dikarenakan mampu
bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan
usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Orang yang telah mencapai tahapan Daur al-Rushd ini diperkirakan sudah
mencapai usia 19,20, atau 21 tahun.
Jadi,
dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga
bentuk :
a. Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa
pun, seperti manusia yang cacat mental.
b. Manusia yang dapat melakukan akad tertentu,
seperti anak yang sudah mumayyiz,
tetapi belum mencapai baligh.
c. Manusia yang dapat melakukan seluruh akad,
yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf.
Pada prinsipnya
tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada halangan-halangan yang
dapat dibuktikan.perbuatan hukum seseorang yang telah baligh dapat dinyatakan
tidak sah atau dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya
halangan-halangan sebagai berikut :
1. Minors (masih dibawah umur) atau safih,
2. Insanity/Junun (kehilangan kesadaran atau gila),
3. Idiocy/’Atah (idiot)
4. Prodigality/Safah (royal,boros),
5. Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran),
6. Sleep/Naum (tertidur dalam keadaan tidur gelap),
7. Error/Khata
dan Forgetfulness/Nisyam
(kesalahan dan terlupa),
8. Acquired
Defects/’awarid Muktasabah
(memiliki kekurangan).
Selain dilihat
dari tahap kedewasaannya seseorang, dalam suatu akad, kondisi psikologis
seseorang perlu juga diperhatikan untuk mencapai sahnya suatu akad. Hamzah
Ya’cub mengemukakan syarat-syarat subjek akad adalah sebagai berikut :
a) Aqil (berakal)
b) Tamyiz (dapat membedakan)
c) Mukhtar (bebas dari paksaan)
Dari uraian
diatas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah sebagai berikut :
1) Baligh. Ukuran baligh
seseorang adalah telah bermimpi(ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi
perempuan.
2) Berakal sehat. Seseorang yang
melakukan perikatan harus memiliki akal yang sehat.
Selain hal
tersebut di atas, dalam kaitannya dengan al-‘aqadain terdapat tiga hal yang
harus di perhatikan, yaitu Ahliyah
(kecakapan), wilayah (kewenangan),
dan wakalah (perwakilan).
1) Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang utuk
memiliki hak dan dikenai kewajiban atasbya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah terbagi atas dua
macam :
a) Ahliyah
wujub, kecakapan untuk
memiliki suatu hak kebendaan
b) Ahliyah
ada’, kecakapan memiliki tasharruf dan di kenai tanggung jawab
atau kewajiban. Ahliyah ada’ terbagi
lagi atas dua macam yakni :
(1) Ahliyah
ada’ al naqishah, yaitu
kecakapan bertindak yang tidak sempurna yang terdapat pada mumayyiz dan berakal
sehat.
(2) Ahliyah
ada’ al kamilah, kecakapan
bertindak yang sempurna yang terdapat pada aqil
baligh dan berakal sehat.
2) Wilayah
(kewenangan), yaitu
kekuasaan hukum yang pemilikannya dapat ber-tasharruf
dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang di timbulkan.
Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah
akad adalah orang yang cakap ber-tasharruf
secara sempurna.
a) Niyabah
ashliyah, yaitu seseorang
yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk
kepentingan dirinya sendiri.
b) Niyabah
al-Syar’iyyah atau wilayah niyabiyah, yaitu kewenangan atau
kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan sempurna
untuk melakukan tasharruf tas nama
orang lain (Wali). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali
dalam mendapatkan wilayah ini adalah
:
(1)
Mempunyai
kecakapan yang sempurna dalam melakukan tasharruf.
(2)
Memiliki
agama yang sama (Islam) anatara wali dan maula’alaihi
(yang diwakili).
(3)
Mempunyai
sifat adil, yaitu istiqamah dalam menjalankan ajaran agama
dan berakhlak mulia.
(4)
Mempunyai
sifat amanah, dapat dipercaya.
(5)
Menjaga
kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya.
3) Wakalah
(perwakilan), yaitu
pengalihan kewenangan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang
kepada orang lain untuk mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya.
b. Badan
hukum
Badan hukum
adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai
hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau
badan lain. Badab hokum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari
perseorangan.yang dapat menjadi badan hukum menurut R.Wirjono Prodjodikoro
adalah dapat berupa Negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan,
atau yayasan.
Dalam Islam,
badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil
menunjukan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah (QS. An-nisaa (4), QS. Shaad(38), dan hadits Qudsi.
Adanya
kerjasama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga.
TM Hasbi Shiddieqy, menyatakan bahwa badan hukum berbeda dengan manusia sebagai
subjek hukum dalam hal-hal berikut :
1) Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak
yang di miliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka, dll.
2) Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya
pengurus badan hukum. Badan hukum akan
hilang apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi lagi.
3) Badan hukum diperlukan adanya pengakuan
hukum.
4) Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang
tertentu.
5) Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh
badan hukum adalah tetap, tidak berkembang.
6) Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman
pidana, tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata.
Kedudukan Negara menurut TM Hasbi
Ash Shiddieqy, dapat menjadi subjek hukum pula, disebut dengan istilah syakhshisyah daulah.
2. Objek
Perikatan (Mahallul ’aqd)
Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan
dikarenakan padanya akibat hukum yang di timbulkan. Bentuk objek akad dapat
berupa benda berwujud, Seperti,
mobil dan rumah. Sedangkan benda tidak
berwujud, seperti manfaat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd ialah :
a. Objek perikatan telah ada ketika akad
dilangsungkan.
b. Objek perikatan di benarkan oleh syariah.
c. Objek akad harus jelas dan dikenali.
d. Objek dapat di serah-terimakan.
3. Tujuan
Perikatan (Maudhu’ul’aqd)
Maudhu’ul’aqd adalah tujuan dan hokum suatu akad di
syariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad di tentukan
oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Nabi Muahammad SAW dalam Hadits. Menurut
ulama fiqih, tujuan akad dapat di lakukan apabila sesuai dengan ketentuan
syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah. Sebagai
contoh, A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau
perampokan.
Ahmad Azhar
Basyir menentukan syarat-syarat yang harus di penuhi agar suatu tujuan akad di
pandang dah dan mempunyai akubat hukum, sebagai berikut :
1) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang
telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa alad yang di adakan.
2) Tujuan harus berlangsung adanya hingga
berakhirnya pelaksanaan akad, dan
3) Tujuan akad harus di benarkan syarak.
4. Ijab
dan Kabul (Sighat al-‘aqd)
Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang
melakukan akad berupa ijab dan Kabul.
-
Ijab
adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu.
-
Kabul
adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang di
lakukan oleh pihak pertama.
Para ulama fiqih mensyaratkan
tiga hal dalam melakukan ijab dan Kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu :
a. Jala’ul ma’na yaitu tujuan yang terkandung
dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat di pahami jenis akad yang di
kehendaki.
b. Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab
dan Kabul.
c. Jazmul iradataini yaitu antara ijab dan Kabul
menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Ijab dab Kabul dapat di lakukan
dengan empat cara berikut ini :
a. Lisan.
b. Tulisan.
c. Isyarat.
d. Perbuatan.
D.Hak dan kewajiban Para Pihak
Dalam Hukum Islam, hak adalah kepentingan yang ada pada
perorangan atau masyarakat, atau pada keduannya, yang di akui oleh syarak.
Namun demikian, secara umum pengertian
hak adalah sesuatu yang kita terima, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita tunaikan atau di
laksanakan.
1. Hak
a. Pengertian Hak
Hak
menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atas untuk menuntut
sesuatu. Menurut ulama fiqih pengertian hak antara lain :
1)
Menurut sebagian para ulama mutaakhirin : “hak adalah
sesuatu hukum yang telah di tetapkan secara syara”.
2)
Menurut Syekh Ali Al-Khafifi(Mesir): “hak adalah
kemaslahatan yang di peroleh secara syara”.
3)
Menurut Ustadz Mustafa Az-Zarqa: “hak adalah sesuatu
kekhususan yang padanya di tetapkan syara”
suatu kekuasaan atau taklif.
4)
Menurut Ibnu Nujaim : “hak adalah sesuatu kekhususan yang
terlindungi”.
b. Macam-macam hak
Ulama
fiqih mengemukakan bahwa macam-macam hak dapat di lihat dari berbagai segi :
1)
Di lihat dari segi pemilik hak, terbagi menjadi 3 macam,
yaitu :
a)
Hak Allah SWT
Hak Allah, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah,
mengagungkannya.
b)
Hak Manusia
Hak ini pada hakikatnya di tujukan untuk memelihara kemaslahatan setiap
pribadi manusia. Hak ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.
Yang bersifat umum seperti,
menjaga(menyediakan) sarana kesehatan. Yang bersifat khusus, seperti menjammin hak milik seseorang, hak istri
mendapat nafkah dari suaminya.
c)
Hak Gabungan antara hak Allah dan hak Manusia
Mengenai hak gabungan ini, adakalanya hak Allah yang lebih dominan
(berperan) dan adakalanya hak manusia yang lebih dominan. Sebagai contoh, dari
hak Allah yang lebih dominan adalah dalam masalah “Idah”. Sedangkan hak manusia
lebih menonjol dari hal Allah adalah seperti dalam pidana Qisas dalam pembunuhan atau penganiayaan dengan sengaja.
2)
Dari segi objek hak
Menurut ulama fiqih,
dari segi objeknya, hak terbagi atas :
a.
Hak Maali (hak
yang berhubungan dengan harta)
b.
Hak Ghairu Maali
(hak yang tidak terikat dengan benda)
c.
Hak asy-Sakhsyi
d.
Hak al-‘Aini
Ada
beberapa keistimewaan atas haqq al-‘aini dan
haqq asy-syakhsyi, ulama fiqih mengemukakannya
sebagai berikut :
1)
Haqq al-‘aini bersifat
permanen dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang
lain. Perbedaan antara perbedaan kedua hak tersebut adalah, hak seseorang dalam
haqq al-‘aini, sedangkan haqq asy-Syakhsyi merupakan hak yang
berkaitan dengan tanggung jawab seseorang yang telah mukallaf (dewasa/sudah dapat bertanggung jawab).
2)
Haqq al-‘aini menjadi gugur
apabila materinya hancur (musnah), sedangkan haqq asy-Syakhsyi tidak dapat di gugurkan, karena hak itu terdapat
dalam diri seseorang, kecuali pemilik hak itu meninggal
Di samping itu, terdapat
pula beberapa macam haqq al-‘aini
(hak yang berkaitan dengan harta benda) yaitu :
1)
Haaq al-Milkiyah
(Hak Milik)
Hak milik adalah suatu
hak yang memberikan kepada pihak yang memilikinya kekuasaan atau kewenangan
atas sesuatu.
2)
Haqq al-Intifa’
Hak untuk memanfaankan
harta benda orang lain melalui sebab-sebab yang di benarkan oleh syara’.
3)
Haqq al-Irtifaq
Haqq al-Irtifaq adalah hak yang berlaku atas suatu benda
tidak bergerak untuk kepentingan benda tidak bergerak milik pihak lain. Hak irtifaq ini melekat pada benda-benda
tidak bergerak. Adapun jenis-jenis hak irtifaq
yang populer dalam kitab-kitab fiqih, antara lain :
a)
Haqq al-Syurbi,
b)
Haqq al-Majra,
c)
Haqq al-Masil,
d)
Haqq al-Jiwar,
e)
Haqq al-Ta’ali,
f)
Haqq al-Murur.
e.
Hak mujjarrad dan
ghairu mujarrad
1)
Haqq mujjarrad adalah hak
murni yang tidak meninggalkan bekas apabila di gugurkan melalui perdamaian atau
pemanfaatan.
2)
Haqq ghairu
mujarrad adalah suatu hak yang apabila di gugurkan atau di maafkan meninggalkan
bekas terhadap orang yang dimaafkan.
3)Dari
segi kewenangan pengadilan
Dari
segi ini ulama fiqih membaginya kepada dua macam :
a.
Haqq diyaani (keagamaan),
yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri(intervensi) oleh kekuasaan kehakiman.
b.
Haqq qadhaai, adalah seluruh
hak di bawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan pemilik hak itu mampu membuktikan
haknya di depan hakim.
c.Sumber atau sebab hak
ulama fiqih
telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab hak adalah syara’. Namun adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara
langsung tanpa sebab dan adakalanya melalui suatu sebab. Syara’ yang menetapkan hak-hak secara langsung tanpa sebab, seperti
perintah melaksanakan berbagai ibadah. Sedangkan syara’ yang menetapkan hak melalui sebab, salah satu contohnya
yakni dalam sebuah perkawinan. Menurut ulama fiqih sumber hak itu ada 5 yaitu :
1)
Syara’
2)
Akad,
3)
Kehendak pribadi,
4)
Perbuatan yang bermanfaat,
5)
Perbuatan yang menimbulkan mudarat bagi orang lain.
d.Akibat hukum suatu hak
1)
Perlindungan Hak merupakan penjabaran dari ajaran dan prinsip keadilan.
2) Penggunaan
hak dalam Islam memberikan kebebasan bagi setiap pemilik untuk menggunakan
haknya sesuai dengan kehendaknya (iradah)
sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
e. Pelanggaran dalam penggunaan hak (Ta’assuf fi Isti’malil Haqq)
Ta’assuf fi Isti’malil Haqq ditegaskan oleh ajaran Islam
sebagai perbuatan terlarang dan tercela (haram). Dalil yang menunjukan larangan
Ta’assuf fi Isti’malil Haqq antara
lain didasarkan pada dua pertimbangan prinsip, yakni :
Pertama,pada prinsipnya
kebebasan dalam Islam tidaklah bersifat mutlak, melainkan kebebasan yang
bertanggung jawab.
Kedua, prinsip tauhid
mengajarkan bahwasanya Allah SWT adalah pemilik hak yang sesungguhnya, sedang
hak yang di milikinya manusia merupakan amanat Allah yang harus di pergunakan
sebagaimana yang di kehendakinya.
2. Kewajiban
a. Pengertian kewajiban
Kata
kewajiban berasal dari kata “wajib” yang di beri imbuhan ke-an. Dalam
pengertian bahasa kata wajib berarti (sesuatu) harus di lakukan, tidak boleh
tidak di laksanakan. Wajib ini merupakan salah satu kaidah dari hukum taklif yang berarti hukum yang bersifat
membebani perbuatan mukallaf, karena
itu penulis lebih memfokuskan pemahaman kewajiban dalam pengertian akibat hukum
dari suatu akad yang biasa di istilahkan sebagai “Iltizam”. Iltizam adalah
akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu
atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Adapun yang menjadi
sumber utama Iltizam, adalah :
a)
Aqad,
b)
Iradah
al-munfaridah(kehendak sepihak, seperti ketika seseorang menyampaikan
suatu janji atau nazar),
c)
Al-fi’lun nafi (perbuatan yang
bermanfaat),
d)
Al-fi’lu
al-dharr (perbuatan yang merugikan).
Iltizam atas suatu perbuatan
harus dipenuhi melalui suatu perbuatan yang menjadi mahallul iltizam, seperti kewajiban seorang buruh (musta’jir). Iltizam terhadap utang pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang
yang berutang secara langsung. Hukum Islam memberikan beberapa alternatif
pemenuhan iltizam ini, misalnya :
a)
Hawalah,
b)
Kafalah (“mengumpulkan,
menjamin, dan menanggung”)
c)
Taqashi.
3. Khiyar
a. Pengertian
Kata al-khiyar dalam bahasa Arab, berarti
pilihan. Secara terminologis para Ulama Fiqih mendefinisikan al-khiyar dengan :
Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang
melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang
disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.
Macam-macam Khiyar
Beberapa
macam khiyar yang dapat terjadi pada
suatu transaksi, yakni:
1)
Khiyar al-Majlis
2)
Khiyar at-Ta’yin
3)
Khiyar
asy-Syarth
4)
Khiyar al’Aib
Khiyar ar-Ru’yah
a)
Khiyar Naqad (pembayaran)
E. penyelesaian Perselisihan
1. Penyelesaian Perselisihan dalam Akad
Perdagangan
Dalam kitab-kitab fiqih ada beberapa patokan yang dapat
diambil sebagai cara penyelesaian perselisihan dalam bertransaksi.
a. Perselisihan harga
b. Perselisihan pertanggungjawaban atas risiko
2. Jalan Penyelesaian
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perikatan Islam, pada prinsipnya boleh dilaksanakan melalui
tiga jalan, yaitu :
1)
Shulhu
2)
Tahkim
3)
Al-Qadha
F. Berakhirnya Akad
Suatu akad di pandang berakhir apabila
telah tercapai tujuannya. Selain tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir
apabila terjadi fasakh (pembatalan)
atau telah berakhir waktunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar