Sabtu, 06 Desember 2014

Tugas Meringkas Buku Hukum Perikatan Islam di Indonesia

Bab 3
Konsep Perikatan (Akad)
Dalam Hukum Islam

A.  Pengertian Perikatan (AKAD)
Setidaknya ada 2(dua) istilah dalam Al-Qur’an yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al-aqdu(akad) dan al-ahdu(janji). Pengertian akad secara bahasa adalah ikatan, mengikat. Ikatan(al-rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Kata al-aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata. Istilah al-‘ahdu dapat disamakan dengan perjanjian atau overeenkomst.
Para ahli Hukum Islam(jumhur Ulama) memberikan definisi Akad sebagai “pertalian antara ijab dan kabul yang di benarkan oleh syara yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.” Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan(al-‘aqdu) melalui tiga tahap yaitu :
1.  Al ‘ahdu(perjanjian)
2.  Persetujuan
3.  Apabila kedua janji tersebut di laksanakan, maka terjadi apa yang di namakan ‘akdu’ oleh Al-Qur’an yang terdapat dalam QS.al-Maidah(5).
Sebagai contoh A menyatakan janji untuk membeli sebuah mobil, maka A dan B berada pada tahap ‘ahdu. Apabila merek mobil dan harga mobil disepakati oleh kedua pihak, maka terjadi persetujuan. Jika dua janji tersebut dilaksanakan, misalnya dengan membayar DP terlebih dahulu oleh A, maka terjadi perikatan atau ‘akdu di antara keduannya.
Proses perikatan ini tidak terlalu berbeda dengan proses perikatan yang di kemukakan oleh Subekti di dasarkan pada KUHPerdata. Menurut subekti, perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak”. Sedangkan perjanjian adalah “suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal”. Hubungan antara perikatan dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan seperti yang tercantum dalam pasal 1233 KUHPerdata.
Perbedaan dalam proses perikatan antara Hukum Islam dan KUHPerdata adalah pada tahap perjanjiannya :
-   Hukum Perikatan Islam, janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua(merupakan dua tahap), baru kemudian lahir perikatan.
-   KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan di antara mereka.

B.  Unsur-unsur Akad
Dalam Akad ada tiga unsur yang terkandung, yaitu :
1.  Pertalian ijab dan kabul
2.  Dibenarkan oleh syara’
3.  Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
a.  Rukun dan Syarat Perikatan Islam
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Secara bahasa, rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan. Syarat adalah ketentuan(peraturan, petunjuk) yang harus di indahkan dan di lakukan. Secara definisi, rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu. Definisi syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada. Perbedaan antara rukun dan syarat menurut ulama Ushul Fiqh, yaitu :
-   Rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum dan ia ternasuk dalam hukum itu sendiri,
-   Syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum.
Pendapat mengenai rukun perikatan tau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam beraneka ragam di kalangan para ahli fiqih. Di kalangan mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukum akad hanya gighat al-‘aqd, yaitu ijab dan kabul. Sedangkan syarat akad adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd(objek akad). Alasannya adalah al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Berbeda halnya dengan pendapat dari kalangan mazhab Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun akad karena kedua hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad.
Jumhur ulama berpendapat, bahwa rukun akad adalah al ‘aqidai, mahallul ‘aqd, dan sighat al-‘aqd. Selain ketiga rukun tersebut, Musthafanaz-Zarqa menambah maudhu’ul’aqd (tujuan akad). Sedangkan menurut T.M.Hasbi Ash-Shiddiqy, keempat hal tersebut merupakan komponen-komponen yang harus dipenuhi untuk terbentuknya suatu akad.
1.  Sumber Perikatan (Al-‘Aqidain)
Al-‘aqidain adalah para pihak yang melakukan akad. Dari sudut hukum adalah sebagai subjek hukum. Subjek hukum sebagai pelaku perbuatan hukum sering kali di artikan sebagai pihak pengemban hak dan kewajiban. Subjek hukum ini terdiri dari dua macam yaitu manusia dan badan hukum.


a.  Manusia
Manusia sebagai subjek Hukum Perikatan adala pihak yang sudah dapat di bebani hukum yangdi sebut dengan mukallaf. Mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak secara hukum, baik yang berhubungan dengan tuhan maupun dalam kehidupan sosial. Pada kehidupan seseorang, ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. Dalam Hukum Islam, kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan-tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capaciti). Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqh telah membagi kapasitas hukum seseorang ke dalam 5(lima) tahap subjek Hukum(the stages of legal capaciti):
1.  Marhalah al-Janin (Embryonic Stage)
Tahap ini dimulai sejak masa janin sudah berada dalam kandungan hingga lahir dalam keadaan hidup.
2.  Marhalah al-Sba (childhood Stage)
Tahap ini dimulai sejak manusia lahir dalam keadaan hidup hingga berusia 7 (tujuh) tahun.
3.  Marhalah al-Tamyiz (discernment stage)
Tahapan ini di mulai sejak seseorang berusia 7(tujuh) tahun hingga masa pubertas (aqil-baligh).
4.  Marhalah al-Bulugh (Stage of Puberty)
Pada tahap ini seseorang telah mencapai mukallaf.
5.  Daur al-Rushd (Stage of Prudence)
Pada tahap ini kapasitas seseorang telah sempurna sebagai subjek hukum, dikarenakan mampu bersikap tindak demi keamanan dalam mengelola dan mengontrol harta dan usaha/bisnisnya dengan bijaksana. Orang yang telah mencapai tahapan Daur al-Rushd ini diperkirakan sudah mencapai usia 19,20, atau 21 tahun.
     Jadi, dari segi kecakapan untuk melakukan akad, manusia dapat terbagi atas tiga bentuk :
a.  Manusia yang tidak dapat melakukan akad apa pun, seperti manusia yang cacat mental.
b.  Manusia yang dapat melakukan akad tertentu, seperti anak yang sudah mumayyiz, tetapi belum mencapai baligh.
c.  Manusia yang dapat melakukan seluruh akad, yaitu untuk yang telah memenuhi syarat-syarat mukallaf.

Pada prinsipnya tindakan hukum seseorang akan dianggap sah, kecuali ada halangan-halangan yang dapat dibuktikan.perbuatan hukum seseorang yang telah baligh dapat dinyatakan tidak sah atau dapat dibatalkan apabila dapat dibuktikan adanya halangan-halangan sebagai berikut :
1.  Minors (masih dibawah umur) atau safih,
2.  Insanity/Junun (kehilangan kesadaran atau gila),
3.  Idiocy/’Atah (idiot)
4.  Prodigality/Safah (royal,boros),
5.  Unconsciousness/Ighma (kehilangan kesadaran),
6.  Sleep/Naum (tertidur dalam keadaan tidur gelap),
7.  Error/Khata dan Forgetfulness/Nisyam (kesalahan dan terlupa),
8.  Acquired Defects/’awarid Muktasabah (memiliki kekurangan).
Selain dilihat dari tahap kedewasaannya seseorang, dalam suatu akad, kondisi psikologis seseorang perlu juga diperhatikan untuk mencapai sahnya suatu akad. Hamzah Ya’cub mengemukakan syarat-syarat subjek akad adalah sebagai berikut :
a)  Aqil (berakal)
b)  Tamyiz (dapat membedakan)
c)  Mukhtar (bebas dari paksaan)
Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi sebagai mukallaf adalah sebagai berikut :
1) Baligh. Ukuran baligh seseorang adalah telah bermimpi(ihtilam) bagi laki-laki dan telah haid bagi perempuan.
2) Berakal sehat. Seseorang yang melakukan perikatan harus memiliki akal yang sehat.
Selain hal tersebut di atas, dalam kaitannya dengan al-‘aqadain terdapat tiga hal yang harus di perhatikan, yaitu Ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan), dan wakalah (perwakilan).
1)  Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang utuk memiliki hak dan dikenai kewajiban atasbya dan kecakapan melakukan tasharruf. Ahliyah terbagi atas dua macam :
a)  Ahliyah wujub, kecakapan untuk memiliki suatu hak kebendaan
b)  Ahliyah ada’, kecakapan memiliki tasharruf dan di kenai tanggung jawab atau kewajiban. Ahliyah ada’ terbagi lagi atas dua macam yakni :
(1)     Ahliyah ada’ al naqishah, yaitu kecakapan bertindak yang tidak sempurna yang terdapat pada mumayyiz dan berakal sehat.
(2)     Ahliyah ada’ al kamilah, kecakapan bertindak yang sempurna yang terdapat pada aqil baligh dan berakal sehat.
2)  Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemilikannya dapat ber-tasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang di timbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang yang cakap ber-tasharruf secara sempurna.
a)  Niyabah ashliyah, yaitu seseorang yang mempunyai kecakapan sempurna dan melakukan tindakan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri.
b)  Niyabah al-Syar’iyyah atau wilayah niyabiyah, yaitu kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepada pihak lain yang mempunyai kecakapan sempurna untuk melakukan tasharruf tas nama orang lain (Wali). Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang wali dalam mendapatkan wilayah ini adalah :
(1)     Mempunyai kecakapan yang sempurna dalam melakukan tasharruf.
(2)     Memiliki agama yang sama (Islam) anatara wali dan maula’alaihi (yang diwakili).
(3)     Mempunyai sifat adil, yaitu istiqamah dalam menjalankan ajaran agama dan berakhlak mulia.
(4)     Mempunyai sifat amanah, dapat dipercaya.
(5)     Menjaga kepentingan orang yang ada dalam perwaliannya.

3)  Wakalah (perwakilan), yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan tertentu dalam hidupnya.

b.  Badan hukum
Badan hukum adalah badan yang dianggap dapat bertindak dalam hukum dan yang mempunyai hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan perhubungan hukum terhadap orang lain atau badan lain. Badab hokum ini memiliki kekayaan yang terpisah dari perseorangan.yang dapat menjadi badan hukum menurut R.Wirjono Prodjodikoro adalah dapat berupa Negara, daerah otonom, perkumpulan orang-orang, perusahaan, atau yayasan.
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah al-syirkah (QS. An-nisaa (4), QS. Shaad(38), dan hadits Qudsi.
Adanya kerjasama di antara beberapa orang menimbulkan kepentingan-kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. TM Hasbi Shiddieqy, menyatakan bahwa badan hukum berbeda dengan manusia sebagai subjek hukum dalam hal-hal berikut :
1)  Hak-hak badan hukum berbeda dengan hak-hak yang di miliki manusia, seperti hak berkeluarga, hak pusaka, dll.
2)  Badan hukum tidak hilang dengan meninggalnya pengurus badan hukum. Badan hukum  akan hilang apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi lagi.
3)  Badan hukum diperlukan adanya pengakuan hukum.
4)  Ruang gerak badan hukum dalam bertindak hukum dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum dan dibatasi dalam bidang-bidang tertentu.
5)  Tindakan hukum yang dapat dilakukan oleh badan hukum adalah tetap, tidak berkembang.
6)  Badan hukum tidak dapat dijatuhi hukuman pidana, tetapi hanya dapat dijatuhi hukuman perdata.
Kedudukan Negara menurut TM Hasbi Ash Shiddieqy, dapat menjadi subjek hukum pula, disebut dengan istilah syakhshisyah daulah.
2.  Objek Perikatan (Mahallul ’aqd)
Mahallul ‘aqd adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikarenakan padanya akibat hukum yang di timbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda berwujud, Seperti, mobil dan rumah. Sedangkan benda tidak berwujud, seperti manfaat. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mahallul ‘aqd ialah :
a.  Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan.
b.  Objek perikatan di benarkan oleh syariah.
c.  Objek akad harus jelas dan dikenali.
d.  Objek dapat di serah-terimakan.




3.  Tujuan Perikatan (Maudhu’ul’aqd)
Maudhu’ul’aqd adalah tujuan dan hokum suatu akad di syariatkan untuk tujuan tersebut. Dalam Hukum Islam, tujuan akad di tentukan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an dan Nabi Muahammad SAW dalam Hadits. Menurut ulama fiqih, tujuan akad dapat di lakukan apabila sesuai dengan ketentuan syari’ah tersebut. Apabila tidak sesuai, maka hukumnya tidak sah. Sebagai contoh, A dan B melakukan perikatan kerja sama untuk melakukan pembunuhan atau perampokan.
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat-syarat yang harus di penuhi agar suatu tujuan akad di pandang dah dan mempunyai akubat hukum, sebagai berikut :
1)  Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak-pihak yang bersangkutan tanpa alad yang di adakan.
2)  Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad, dan
3)  Tujuan akad harus di benarkan syarak.

4.  Ijab dan Kabul (Sighat al-‘aqd)
Sighat al-‘aqd adalah suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan Kabul.
-   Ijab adalah suatu pernyataan janji atau penawaran dari pihak pertama untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
-   Kabul adalah suatu pernyataan menerima dari pihak kedua atas penawaran yang di lakukan oleh pihak pertama.
Para ulama fiqih mensyaratkan tiga hal dalam melakukan ijab dan Kabul agar memiliki akibat hukum, yaitu :
a.  Jala’ul ma’na yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat di pahami jenis akad yang di kehendaki.
b.  Tawafuq yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan Kabul.
c.  Jazmul iradataini yaitu antara ijab dan Kabul menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan tidak terpaksa.
Ijab dab Kabul dapat di lakukan dengan empat cara berikut ini :
a.  Lisan.
b.  Tulisan.
c.  Isyarat.
d.  Perbuatan.

D.Hak dan kewajiban Para Pihak
Dalam Hukum Islam, hak adalah kepentingan yang ada pada perorangan atau masyarakat, atau pada keduannya, yang di akui oleh syarak. Namun demikian, secara umum pengertian hak adalah sesuatu yang kita terima, sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita tunaikan atau di laksanakan.
1.  Hak
a.  Pengertian Hak
Hak menurut bahasa adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atas untuk menuntut sesuatu. Menurut ulama fiqih pengertian hak antara lain :
1)  Menurut sebagian para ulama mutaakhirin : “hak adalah sesuatu hukum yang telah di tetapkan secara syara”.
2)  Menurut Syekh Ali Al-Khafifi(Mesir): “hak adalah kemaslahatan yang di peroleh secara syara”.
3)  Menurut Ustadz Mustafa Az-Zarqa: “hak adalah sesuatu kekhususan yang padanya di tetapkan syara” suatu kekuasaan atau taklif.
4)  Menurut Ibnu Nujaim : “hak adalah sesuatu kekhususan yang terlindungi”.

b.  Macam-macam hak
Ulama fiqih mengemukakan bahwa macam-macam hak dapat di lihat dari berbagai segi :
1)  Di lihat dari segi pemilik hak, terbagi menjadi 3 macam, yaitu :
a)  Hak Allah SWT
Hak Allah, yaitu seluruh bentuk yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, mengagungkannya.

b)  Hak Manusia
Hak ini pada hakikatnya di tujukan untuk memelihara kemaslahatan setiap pribadi manusia. Hak ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Yang bersifat umum seperti, menjaga(menyediakan) sarana kesehatan. Yang bersifat khusus, seperti menjammin hak milik seseorang, hak istri mendapat nafkah dari suaminya.

c)  Hak Gabungan antara hak Allah dan hak Manusia
Mengenai hak gabungan ini, adakalanya hak Allah yang lebih dominan (berperan) dan adakalanya hak manusia yang lebih dominan. Sebagai contoh, dari hak Allah yang lebih dominan adalah dalam masalah “Idah”. Sedangkan hak manusia lebih menonjol dari hal Allah adalah seperti dalam pidana Qisas dalam pembunuhan atau penganiayaan dengan sengaja.

2)  Dari segi objek hak
Menurut ulama fiqih, dari segi objeknya, hak terbagi atas :
a.  Hak Maali (hak yang berhubungan dengan harta)
b.  Hak Ghairu Maali (hak yang tidak terikat dengan benda)
c.  Hak asy-Sakhsyi
d.  Hak al-‘Aini

Ada beberapa keistimewaan atas haqq al-‘aini dan haqq asy-syakhsyi, ulama fiqih mengemukakannya sebagai berikut :
1)  Haqq al-‘aini bersifat permanen dan mengikuti pemiliknya, sekalipun benda itu berada di tangan orang lain. Perbedaan antara perbedaan kedua hak tersebut adalah, hak seseorang dalam haqq al-‘aini, sedangkan haqq asy-Syakhsyi merupakan hak yang berkaitan dengan tanggung jawab seseorang yang telah mukallaf (dewasa/sudah dapat bertanggung jawab).
2)  Haqq al-‘aini menjadi gugur apabila materinya hancur (musnah), sedangkan haqq asy-Syakhsyi tidak dapat di gugurkan, karena hak itu terdapat dalam diri seseorang, kecuali pemilik hak itu meninggal
Di samping itu, terdapat pula beberapa macam haqq al-‘aini (hak yang berkaitan dengan harta benda) yaitu :
1)  Haaq al-Milkiyah (Hak Milik)
Hak milik adalah suatu hak yang memberikan kepada pihak yang memilikinya kekuasaan atau kewenangan atas sesuatu.
2)  Haqq al-Intifa’
Hak untuk memanfaankan harta benda orang lain melalui sebab-sebab yang di benarkan oleh syara’.
3)  Haqq al-Irtifaq
Haqq al-Irtifaq adalah hak yang berlaku atas suatu benda tidak bergerak untuk kepentingan benda tidak bergerak milik pihak lain. Hak irtifaq ini melekat pada benda-benda tidak bergerak. Adapun jenis-jenis hak irtifaq yang populer dalam kitab-kitab fiqih, antara lain :
a)  Haqq al-Syurbi,
b)  Haqq al-Majra,
c)  Haqq al-Masil,
d)  Haqq al-Jiwar,
e)  Haqq al-Ta’ali,
f)  Haqq al-Murur.

e.  Hak mujjarrad dan ghairu mujarrad
1)  Haqq mujjarrad adalah hak murni yang tidak meninggalkan bekas apabila di gugurkan melalui perdamaian atau pemanfaatan.
2)  Haqq ghairu mujarrad adalah suatu hak yang apabila di gugurkan atau di maafkan meninggalkan bekas terhadap orang yang dimaafkan.

3)Dari segi kewenangan pengadilan
Dari segi ini ulama fiqih membaginya kepada dua macam :
a.  Haqq diyaani (keagamaan), yaitu hak-hak yang tidak boleh dicampuri(intervensi) oleh kekuasaan kehakiman.
b.  Haqq qadhaai, adalah seluruh hak di bawah kekuasaan pengadilan (hakim) dan pemilik hak itu mampu membuktikan haknya di depan hakim.

c.Sumber atau sebab hak
ulama fiqih telah sepakat menyatakan, bahwa sumber atau sebab hak adalah syara’. Namun adakalanya syara’ menetapkan hak-hak itu secara langsung tanpa sebab dan adakalanya melalui suatu sebab. Syara’ yang menetapkan hak-hak secara langsung tanpa sebab, seperti perintah melaksanakan berbagai ibadah. Sedangkan syara’ yang menetapkan hak melalui sebab, salah satu contohnya yakni dalam sebuah perkawinan. Menurut ulama fiqih sumber hak itu ada 5 yaitu :
1)  Syara’
2)  Akad,
3)  Kehendak pribadi,
4)  Perbuatan yang bermanfaat,
5)  Perbuatan yang menimbulkan mudarat bagi orang lain.

d.Akibat hukum suatu hak
1) Perlindungan Hak merupakan penjabaran dari ajaran dan prinsip keadilan.
2) Penggunaan hak dalam Islam memberikan kebebasan bagi setiap pemilik untuk menggunakan haknya sesuai dengan kehendaknya (iradah) sepanjang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
e. Pelanggaran dalam penggunaan hak (Ta’assuf fi Isti’malil Haqq)
Ta’assuf fi Isti’malil Haqq ditegaskan oleh ajaran Islam sebagai perbuatan terlarang dan tercela (haram). Dalil yang menunjukan larangan Ta’assuf fi Isti’malil Haqq antara lain didasarkan pada dua pertimbangan prinsip, yakni :
Pertama,pada prinsipnya kebebasan dalam Islam tidaklah bersifat mutlak, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab.
Kedua, prinsip tauhid mengajarkan bahwasanya Allah SWT adalah pemilik hak yang sesungguhnya, sedang hak yang di milikinya manusia merupakan amanat Allah yang harus di pergunakan sebagaimana yang di kehendakinya.
2.  Kewajiban
a.  Pengertian kewajiban
Kata kewajiban berasal dari kata “wajib” yang di beri imbuhan ke-an. Dalam pengertian bahasa kata wajib berarti (sesuatu) harus di lakukan, tidak boleh tidak di laksanakan. Wajib ini merupakan salah satu kaidah dari hukum taklif yang berarti hukum yang bersifat membebani perbuatan mukallaf, karena itu penulis lebih memfokuskan pemahaman kewajiban dalam pengertian akibat hukum dari suatu akad yang biasa di istilahkan sebagai “Iltizam”. Iltizam adalah akibat (ikatan) hukum yang mengharuskan pihak lain berbuat memberikan sesuatu atau melakukan suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. Adapun yang menjadi sumber utama Iltizam, adalah :
a)  Aqad,
b)  Iradah al-munfaridah(kehendak sepihak, seperti ketika seseorang menyampaikan suatu janji atau nazar),
c)  Al-fi’lun nafi (perbuatan yang bermanfaat),
d)  Al-fi’lu al-dharr (perbuatan yang merugikan).
Iltizam atas suatu perbuatan harus dipenuhi melalui suatu perbuatan yang menjadi mahallul iltizam, seperti kewajiban seorang buruh (musta’jir). Iltizam terhadap utang pada prinsipnya harus dipenuhi oleh orang yang berutang secara langsung. Hukum Islam memberikan beberapa alternatif pemenuhan iltizam ini, misalnya :
a)  Hawalah,
b)  Kafalah (“mengumpulkan, menjamin, dan menanggung”)
c)  Taqashi.

3.  Khiyar
a.  Pengertian
Kata al-khiyar dalam bahasa Arab, berarti pilihan. Secara terminologis para Ulama Fiqih mendefinisikan al-khiyar dengan :
Hak pilih bagi salah satu atau kedua belah pihak yang melaksanakan transaksi untuk melangsungkan atau membatalkan transaksi yang disepakati sesuai dengan kondisi masing-masing pihak yang melakukan transaksi.


Macam-macam Khiyar
Beberapa macam khiyar yang dapat terjadi pada suatu transaksi, yakni:
1)  Khiyar al-Majlis
2)  Khiyar at-Ta’yin
3)  Khiyar asy-Syarth
4)  Khiyar al’Aib
Khiyar ar-Ru’yah

a)  Khiyar Naqad (pembayaran)
E. penyelesaian Perselisihan
1. Penyelesaian Perselisihan dalam Akad Perdagangan
Dalam kitab-kitab fiqih ada beberapa patokan yang dapat diambil sebagai cara penyelesaian perselisihan dalam bertransaksi.
a.  Perselisihan harga
b.  Perselisihan pertanggungjawaban atas risiko
2. Jalan Penyelesaian
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perikatan Islam, pada prinsipnya boleh dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu :
1)  Shulhu
2)  Tahkim
3)  Al-Qadha

F. Berakhirnya Akad
     Suatu akad di pandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Selain tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau telah berakhir waktunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar