BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Secara
substantif pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dideskripsikan
sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual
manusia. Karya-karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra
ataupun teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya.
Pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai.
Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai
ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan terhadap karya-karya
intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai aset
perusahaan. Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada
akhirnya menimbulkan suatu perlindungan yang dibutuhkan untuk melindungi atau
mempertahankan kekayaan tersebut. Kebutuhan ini melahirkan konsepsi
perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai
dengan hakekatnya pula, HKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang
sifatnya tidak berwujud (Intangible). [1]
Pengenalan
HKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara
lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan
hal baru di Indonesia. Dari sudut
pandang HKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan,
penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga
mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk
menghasilkan karya-karya inovatif, inventif dan produktif. [2]
Hak Kekayaan Intelektual atau juga dikenal dengan HKI merupakan terjemahan atas
istilah Intellectual Property Right (IPR).
Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan
Intelektual. Adapun Hak Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya
pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis,
karikatur, dan seterusnya. Terakhir, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan
hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk
berbuat sesuatu atau kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh
norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku. [3]
Hak
itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Pertama,
Hak Dasar (Asasi), yang merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat.
Umpamanya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua, Hak Amanat Aturan/Perundangan,
yaitu hak karena diberikan/diatur oleh masyarakat melalui
peraturan/perundangan. Diberbagai negara, termasuk Amerika dan Indonesia, HKI
merupakan Hak Amanat Aturan, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa
besar HAKI yang diberikan kepada individu atau kelompok. [4]Berkembangnya
perdagangan internasional, dan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan
makin terasa kebutuhan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang sifatnya tidak lagi timbal balik tetapi
sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad kesembilan belas,
perkembangan pengaturan masalah HKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak
sejarah dengan terbentuknya konvensi Paris (1883) yaitu konvensi yang
melindungi tentang hak kekayaan industri. Salah satu yang termasuk dalam
kelompok hak kekayaan industri yaitu merek dan konvensi Bern (1886) yang
merupakan konvensi tertua dibidang hak cipta.[5]World
Intellectual Property Organization atau yang disingkat WIPO merupakan
organisasi dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa atau (PBB) yang khusus menangani
bidang hak kekayaan intelektual (HKI). WIPO didirikan pada tahun 1970 dan
merupakan sebuah badan khusus PBB sejak tahun 1974, berasal dari sekretariat
Konvensi Paris dan Konvensi Bern yang di buat pada tahun 1880-an. Tujuan dari WIPO adalah untuk
mempromosikan perlindungan terhadap HKI diseluruh dunia. WIPO mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Hak Kekayaan Intelektual yang
merujuk pada hasil karya pikiran meliputi penemuan, hasil karya seni, gambar,
nama, simbol, dan desain yang digunakan secara komersial.[6]
World Trade Organization (WTO) yang
baru terbentuk tahun 1995, dikembangkan dari sistem aturan perdagangan
internasional yang diusulkan oleh perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan
atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, dan badan
ini bukanlah bagian dari sistem PBB.[7] GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum
tentang tarif-tarif dan perdagangan didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss.
Pada waktu didirikan, GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang
terakhir di Marakesh pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115
negara. Kesepakatan dalam GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang
dalam tiga prinsip, yaitu:
[8]
1.
Prinsip
resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain
sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara
tersebut.
2.
Prinsip
most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan
keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara
tertentu.
3.
Prinsip
transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus
transparan agar diketahui oleh negara lain.
Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim
perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta
juga untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan
kerja dan iklim perdagangan yang sehat. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT yaitu
meningkatkan taraf hidup umat manusia, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan pemanfaatan
kekayaan alam dunia, dan meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.[9] Sesuai dengan perkembangannya, masing-masing negara anggota GATT menghendaki adanya
perdagangan bebas. Pada pertemuan di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah
menjadi World Trade Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995. Fungsi dari
WTO yaitu: (1)
mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah
dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut, (2) sebagai forum
perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang
telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang
ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, (3) mengatur pelaksanaan
ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan; (4) mengatur mekanisme
peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan (5) menciptakan kerangka
penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang
berafiliasi.[10]
Keanggotaan WIPO dan berbagai perjanjian internasional WIPO
tetaplah berbeda dari keanggotaan WTO. Indonesia memperoleh hak dan
kewajibannya dari keanggotaan WIPO dan perjanjian internasional yang di
selenggarakan oleh WIPO, terpisah dari hak dan kewajiban yang diperoleh dari
keanggotaannya di WTO. Dalam
kelompok dalam bidang HKI salah satunya yaitu merek. Merek menjadi salah satu
kata yang sangat populer yang sering di
gunakan dalam hal mempromosikan produk baik itu lewat media massa baik itu
cetak ataupun elektronik. Seiring dengan semakin pesatnya persaingan dalam
dunia perdagangan barang dan jasa maka tidak heran jika merek memiliki peranan
penting untuk dikenali sebagai tanda suatu produk tertentu dimasyarakat dan
juga memiliki kekuatan serta manfaat apabila dikelola dengan baik. Merek bukan
lagi suatu kata yang hanya di hubungkan dengan produk atau sekumpulan barang
para era perdagangan bebas sekarang ini tetapi proses dan strategi bisnis.[11]
Merek harus memiliki daya pembeda agar dapat dilindungi
secara hukum oleh negara. Merek selain memiliki daya pembeda, merek juga harus
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak
menjadi milik umum merek tersebut. Perlindungan terhadap merek di Indonesia
diatur didalam Undang-Undang No.15 Tahun 2001. Definisi autentik tentang merek
dapat di temukan di dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Merek No. 15 Tahun
2001 sebagai berikut :
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf,
angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau
jasa.”
Pendaftaran
merek Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 harus berdasarkan prinsip itikad baik
yang diatur didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Dalam sistem
pendaftaran merek di Indonesia menggunakan asas first to file yaitu Asas
First to File adalah sistem pendaftaran merek pertama, artinya pihak yang pertama kali mengajukan permohonan
pendaftaran Merek ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di beri
prioritas untuk mendapatkan pendaftaran merek dan di akui sebagai pemilik merek
yang sah. Maka dari itu perlu adanya suatu perlindungan hukum
terhadap merek. Merek harus di daftarkan agar tidak ada pihak yang tidak
menggunakan merek tersebut dan apabila terjadi pelanggaran terhadap merek,
pemilik merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain berupa ganti rugi,
atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaaan merek
tersebut. Dalam pengajuan pembatalan merek diatur pula di pasal 68 dan 69
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek. Pembatalan merek yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat dibatalkan dalam jangkan waktu 5(lima) tahun setelah
merek tersebut didaftarkan. Pembatalan merek tersebut untuk membuktikan bahwa
merek yang didaftarkan tersebut bukanlah merek yang yang dijiplak atau merek
yang ditiru dari merek orang lain. Tindakan meniru merek tersbebut sangat
merugikan bagi pemilik merek yang sebenarnya karena peniru merek tidak perlu
mempromosikan merek tersebut karena merek tersebut sudah diketahui oleh orang
banyak, apalagi terhadap merek terkenal yang sudah diketahui oleh orang banyak. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
tidak mengatur mengenai merek terkenal secara rinci, maka untuk menentukan
suatu merek sudah terkenal atau belum undang-undang merek mengacu kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI
Nomor 1486 k/pdt/1991 yang menyatakan bahwa : “Pengertian
merek terkenal yaitu apabila suatu merek telah beredar keluar dari batas-batas
regional sampai batas-batas internasional, dimana telah beredar keluar negeri
asalnya dan dibuktikan dengan adanya pendaftaan merek yang bersangkutan
diberbagai negara”. Adapun mengenai kriteria Merek Terkenal, selain
memperhatikan pengetahuan umum masyarakat, penentuan juga didasarkan pada
reputasi merek yang bersangkutan yang diperoleh karena promosi yang dilakukan oleh
pemiliknya yang disertai dengan bukti pendaftaran merek tersebut dibeberapa
negara.[12] Ditambah dengan melihat Pasal 1 Keputusan
Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M-02-HC.01.01 tahun 1987 yang
menyatakan bahwa merek terkenal adalah sebagai merek dagang yang telah lama
dikenal dan dipakai diwilayah Indonesia oleh seseorang atau badan untuk jenis
barang tertentu. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut diperbarui dengan
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M-03-HC.02.01 tahun 1991. Didalam Pasal 1
Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M-03-HC.02.01 tahun 1991 didefinisikan
merek terkenal sebagai merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai
pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik diwilayah
Indonesia maupun di luar negeri.[13]Sengketa merek antara perusahaan
Kubushiki Kaisha Monteroza yang menurut Undang-Undang Negara Jepang yang
diwakili oleh Tuan Teruchiro Ooqami berkedudukan di Kabukicho, Shinjukuku,
Tokyo Japan dengan Tuan Arifin Siman
bertempat tinggal di Jalan Karang Bolong V Nomor 3-5, Kelurahan Ancol, Jakarta
Utara bermula pada tahun 2012 yaitu perusahaan Monteroza yang ingin membuka
cabang usahanya dinegara Indonesia mendaftarkan merek dan logo Wara-Wara dan
Shirokiya miliknya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan
pendaftarannya ditolak oleh Dirjen HKI karena merek dan logo tersebut sudah ada
yang mendaftarkan atas nama tuan Arifin Siman. Perusahaan Monteroza merasa tuan
Arifin Siman sudah meniru keterkenalan dari merek dan logo milik perusahaannya
karena tuan Arifin Siman baru mendaftarkan mereknya di Direktorat Jenderal HKI
pada tahun 2002, sedangkan Perusahaan Monteroza sudah mendapatkan pengakuan
atas merek dan logo wara-wara dan shirokiya sejak tahun 1994 untuk merek
wara-wara dan tahun 1998 untuk meek shirokiya berdasarkan hukum negara Jepang.
Perusahaan Monteroza pun mendaftarkan merek wara-wara dan shirokiya miliknya
dibeberapa negara selain di negara Jepang dan sudah mendapatkan lisensi atas
mereknya tersebut dan sudah dikenal dimasyarakat Internasional. Tuan Arifin
Siman berpendapat bahwa merek milik Perusahaan Monteroza bukan lah merek
terkenal karena merek tersebut didaftarkan dibeberapa negara setelah tahun
2002, artinya merek tersebut terkenal setelah tuan Arifin Siman sudah
mendaftarkan mereknya dan mendapatkan pengesahan atas merek wara-wara dan
shirokiya milik Arifin Siman dari Dirjen
HKI dan perusahaan Monteroza baru mendaftarkan merek miliknya sebelum tahun
2002 selain dinegara Jepang hanya dinegara Tiongkok pada tanggal 16 Desember
1996 dan Korea pada tanggal 1 September 1998 dan tuan Arifin Siman . Merasa
dirugikan karena merek miliknya sudah didaftarkan oleh tuan Arifin Siman,
perusahaan Monteroza mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan
kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim berpendapat merek milik perusahaan
Monteroza baru mempromosikan merek miliknya baru ditahun 2006 dibeberapa negara
selain negara Jepang, Tiongkok, dan Korea, artinya merek milik perusahaan
Monteroza belumlah terkenal menurut majelis Hakim. Ukuran suatu merek
dikelompokkan sebagai merek terkenal yaitu salah satunya adalah merek tersebut
didaftarkan minimal di 3(tiga) negara.[14]
Berdasarkan kriteria tersebut merek wara-wara dan shirokiya milik perusahaan
Monteroza dapat dikelompokkan sebagai merek terkenal.
Dalam
kasus sengketa merek antara perusahaan Monteroza dan tuan Arifin Siman,
perbuatan tuan Arifin Siman adalah perbuatan beritikad tidak baik dan perbuatan
tuan Arifin Siman tidak bisa dibenarkan, majelis Hakim yang memutus perkara
tersebut tidak melihat bahwa kriteria merek tersebut terkenal minimal
didaftarkan di 3(tiga) negara berbeda dan hanya melihat dari sistem pengakuan
merek di Indonesia yang berdasarkan asas first to file saja. Majelis Hakim yang
memutus perkara ini tidak mengetahui bahwa kriteria merek terkenal itu salah
satunya sudah didaftarkan minimal di 3(tiga) negara berbeda dan sudah dikenal
oleh masyarakat Internasional.
[3]
Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2009), hlm. 38.
[4]Ibid, hlm. 39.
[5]Muhamad Djumhana, Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan
Prakteknya diIndonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 11
[6]
http://strikingbrainwave.blogspot.com/2008/05/world-intellectual-property.html
[7] Tim Lindsey Dkk, Hak Milik Intelektual suatu pengantar,
cet ke-6, Bandung: PT. Alumni, 2011, hlm. 28-29
[8]
http://ibm-binus-7p.blogspot.com/2013/06/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html
[9]
Ibid, http://ibm-binus-7p.blogspot.com/2013/06/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html
[10]
https://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-peranan-wto/
[11]
http://sulajadech.wordpress.com/2011/06/13/makalah-tentang-merk/
[14]
Suatu
merek dikelompokkan menjadi merek terkenal yaitu salah satunya merek tersebut
didaftarkan minimal di 3(tiga) negara yang berbeda, Pendapat Hendra Tanu Atmadja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar