Minggu, 07 Desember 2014

Latar Belakang Proposal Skripsi Merek

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Secara substantif pengertian Hak Kekayaan Intelektual (HKI) dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. Karya-karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra ataupun teknologi, dilahirkan dengan pengorbanan tenaga, waktu dan bahkan biaya. Pengorbanan tersebut menjadikan karya yang dihasilkan menjadi memiliki nilai. Apabila ditambah dengan manfaat ekonomi yang dapat dinikmati, maka nilai ekonomi yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan terhadap karya-karya intelektual. Bagi dunia usaha, karya-karya itu dikatakan sebagai aset perusahaan. Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya menimbulkan suatu perlindungan yang dibutuhkan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan tersebut. Kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan hak terhadapnya. Sesuai dengan hakekatnya pula, HKI dikelompokan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (Intangible). [1]
Pengenalan HKI sebagai hak milik perorangan yang tidak berwujud dan penjabarannya secara lugas dalam tatanan hukum positif terutama dalam kehidupan ekonomi merupakan hal baru di Indonesia. Dari sudut pandang HKI, aturan tersebut diperlukan karena adanya sikap penghargaan, penghormatan dan perlindungan tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga mewujudkan iklim yang kondusif bagi peningkatan semangat atau gairah untuk menghasilkan karya-karya inovatif, inventif dan produktif. [2] Hak Kekayaan Intelektual atau juga dikenal dengan HKI merupakan terjemahan atas istilah Intellectual Property Right (IPR). Istilah tersebut terdiri dari tiga kata kunci, yaitu Hak, Kekayaan, dan Intelektual. Adapun Hak Kekayaan Intelektual merupakan kekayaan atas segala hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Terakhir, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan)  untuk berbuat sesuatu atau kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku. [3]
Hak itu sendiri dapat dibagi menjadi dua. Pertama, Hak Dasar (Asasi), yang merupakan hak mutlak yang tidak dapat diganggu-gugat. Umpamanya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan keadilan, dan sebagainya. Kedua, Hak Amanat Aturan/Perundangan, yaitu hak karena diberikan/diatur oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Diberbagai negara, termasuk Amerika dan Indonesia, HKI merupakan Hak Amanat Aturan, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HAKI yang diberikan kepada individu atau kelompok. [4]Berkembangnya perdagangan internasional, dan adanya gerakan perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual  yang sifatnya tidak lagi timbal balik tetapi sudah bersifat antar negara secara global. Pada akhir abad kesembilan belas, perkembangan pengaturan masalah HKI mulai melewati batas-batas negara. Tonggak sejarah dengan terbentuknya konvensi Paris (1883) yaitu konvensi yang melindungi tentang hak kekayaan industri. Salah satu yang termasuk dalam kelompok hak kekayaan industri yaitu merek dan konvensi Bern (1886) yang merupakan konvensi tertua dibidang hak cipta.[5]World Intellectual Property Organization atau yang disingkat WIPO merupakan organisasi dibawah Perserikatan Bangsa Bangsa atau (PBB) yang khusus menangani bidang hak kekayaan intelektual (HKI). WIPO didirikan pada tahun 1970 dan merupakan sebuah badan khusus PBB sejak tahun 1974, berasal dari sekretariat Konvensi Paris dan Konvensi Bern yang di buat pada tahun 1880-an. Tujuan dari WIPO adalah untuk mempromosikan perlindungan terhadap HKI diseluruh dunia. WIPO mengatur hal-hal yang berkaitan dengan hak kekayaan intelektual. Hak Kekayaan Intelektual yang merujuk pada hasil karya pikiran meliputi penemuan, hasil karya seni, gambar, nama, simbol, dan desain yang digunakan secara komersial.[6]
World Trade Organization (WTO) yang baru terbentuk tahun 1995, dikembangkan dari sistem aturan perdagangan internasional yang diusulkan oleh perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan atau General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) pada tahun 1947, dan badan ini bukanlah bagian dari sistem PBB.[7] GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) atau perjanjian umum tentang tarif-tarif dan perdagangan didirikan pada tahun 1948 di Genewa, Swiss. Pada waktu didirikan, GATT beranggotakan 23 negara, tetapi pada saat sidang terakhir di Marakesh pada 5 April 1994 jumlah negara penandatangan sebanyak 115 negara. Kesepakatan dalam GATT yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1948 tertuang dalam tiga prinsip, yaitu: [8]
1.      Prinsip resiprositas, yaitu perlakuan yang diberikan suatu negara kepada negara lain sebagai mitra dagangnya harus juga diberikan juga oleh mitra dagang negara tersebut.
2.      Prinsip most favored nation, yaitu negara anggota GATT tidak boleh memberikan keistimewaan yang menguntungkan hanya pada satu atau sekelompok negara tertentu.
3.      Prinsip transparansi, yaitu perlakuan dan kebijakan yang dilakukan suatu negara harus transparan agar diketahui oleh negara lain.
Tujuan pembentukan GATT adalah untuk menciptakan suatu iklim perdagangan internasional yang aman dan jelas bagi masyarakat bisnis, serta juga untuk menciptakan liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, lapangan kerja dan iklim perdagangan yang sehat. Pada pokoknya ada empat tujuan penting yang hendak dicapai GATT yaitu meningkatkan taraf hidup umat manusia, meningkatkan kesempatan kerja, meningkatkan pemanfaatan kekayaan alam dunia, dan meningkatkan produksi dan tukar menukar barang.[9] Sesuai dengan perkembangannya, masing-masing negara anggota GATT menghendaki adanya perdagangan bebas. Pada pertemuan di Marakesh, Maroko 5 April 1994 GATT diubah menjadi World Trade Organization (WTO) mulai tanggal 1 Januari 1995. Fungsi  dari WTO yaitu: (1) mendukung pelaksanaan, pengaturan, dan penyelenggaraan persetujuan yang telah dicapai untuk memujudkan sasaran perjanjian tersebut, (2) sebagai forum perundingan bagi negara-negara anggota mengenai perjanjian-perjanjian yang telah dicapai beserta lampiran-lampirannya, termasuk keputusan-keputusan yang ditentukan kemudian dalam Perundingan Tingkat Menteri, (3) mengatur pelaksanaan ketentuan mengenai penyelesaian sengketa perdagangan; (4) mengatur mekanisme peninjauan kebijakan di bidang perdagangan, dan (5) menciptakan kerangka penentuan kebijakan ekonomi global berkerja sama dengan Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), serta badan-badan yang berafiliasi.[10]
Keanggotaan WIPO dan berbagai perjanjian internasional WIPO tetaplah berbeda dari keanggotaan WTO. Indonesia memperoleh hak dan kewajibannya dari keanggotaan WIPO dan perjanjian internasional yang di selenggarakan oleh WIPO, terpisah dari hak dan kewajiban yang diperoleh dari keanggotaannya di WTO. Dalam kelompok dalam bidang HKI salah satunya yaitu merek. Merek menjadi salah satu kata yang sangat populer yang  sering di gunakan dalam hal mempromosikan produk baik itu lewat media massa baik itu cetak ataupun elektronik. Seiring dengan semakin pesatnya persaingan dalam dunia perdagangan barang dan jasa maka tidak heran jika merek memiliki peranan penting untuk dikenali sebagai tanda suatu produk tertentu dimasyarakat dan juga memiliki kekuatan serta manfaat apabila dikelola dengan baik. Merek bukan lagi suatu kata yang hanya di hubungkan dengan produk atau sekumpulan barang para era perdagangan bebas sekarang ini tetapi proses dan strategi bisnis.[11]
Merek harus memiliki daya pembeda agar dapat dilindungi secara hukum oleh negara. Merek selain memiliki daya pembeda, merek juga harus tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menjadi milik umum merek tersebut. Perlindungan terhadap merek di Indonesia diatur didalam Undang-Undang No.15 Tahun 2001. Definisi autentik tentang merek dapat di temukan di dalam pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Merek No. 15 Tahun 2001 sebagai berikut :
“Merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan di gunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.”
Pendaftaran merek Undang-Undang nomor 15 Tahun 2001 harus berdasarkan prinsip itikad baik yang diatur didalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Dalam sistem pendaftaran merek di Indonesia menggunakan asas first to file yaitu Asas First to File adalah sistem pendaftaran merek pertama, artinya pihak yang  pertama kali mengajukan permohonan pendaftaran Merek ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual di beri prioritas untuk mendapatkan pendaftaran merek dan di akui sebagai pemilik merek yang sah. Maka dari itu perlu adanya suatu perlindungan hukum terhadap merek. Merek harus di daftarkan agar tidak ada pihak yang tidak menggunakan merek tersebut dan apabila terjadi pelanggaran terhadap merek, pemilik merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain berupa ganti rugi, atau penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaaan merek tersebut. Dalam pengajuan pembatalan merek diatur pula di pasal 68 dan 69 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek. Pembatalan merek yang diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 dapat dibatalkan  dalam jangkan waktu 5(lima) tahun setelah merek tersebut didaftarkan. Pembatalan merek tersebut untuk membuktikan bahwa merek yang didaftarkan tersebut bukanlah merek yang yang dijiplak atau merek yang ditiru dari merek orang lain. Tindakan meniru merek tersbebut sangat merugikan bagi pemilik merek yang sebenarnya karena peniru merek tidak perlu mempromosikan merek tersebut karena merek tersebut sudah diketahui oleh orang banyak, apalagi terhadap merek terkenal yang sudah diketahui oleh orang banyak. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tidak mengatur mengenai merek terkenal secara rinci, maka untuk menentukan suatu merek sudah terkenal atau belum undang-undang merek mengacu kepada Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 1486 k/pdt/1991 yang menyatakan bahwa : “Pengertian merek terkenal yaitu apabila suatu merek telah beredar keluar dari batas-batas regional sampai batas-batas internasional, dimana telah beredar keluar negeri asalnya dan dibuktikan dengan adanya pendaftaan merek yang bersangkutan diberbagai negara”. Adapun mengenai kriteria Merek Terkenal, selain memperhatikan pengetahuan umum masyarakat, penentuan juga didasarkan pada reputasi merek yang bersangkutan yang diperoleh karena promosi yang dilakukan oleh pemiliknya yang disertai dengan bukti pendaftaran merek tersebut dibeberapa negara.[12]  Ditambah dengan melihat Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor : M-02-HC.01.01 tahun 1987 yang menyatakan bahwa merek terkenal adalah sebagai merek dagang yang telah lama dikenal dan dipakai diwilayah Indonesia oleh seseorang atau badan untuk jenis barang tertentu. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut diperbarui dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M-03-HC.02.01 tahun 1991. Didalam Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor : M-03-HC.02.01 tahun 1991 didefinisikan merek terkenal sebagai merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik diwilayah Indonesia maupun di luar negeri.[13]Sengketa merek antara perusahaan Kubushiki Kaisha Monteroza yang menurut Undang-Undang Negara Jepang yang diwakili oleh Tuan Teruchiro Ooqami berkedudukan di Kabukicho, Shinjukuku, Tokyo Japan  dengan Tuan Arifin Siman bertempat tinggal di Jalan Karang Bolong V Nomor 3-5, Kelurahan Ancol, Jakarta Utara bermula pada tahun 2012 yaitu perusahaan Monteroza yang ingin membuka cabang usahanya dinegara Indonesia mendaftarkan merek dan logo Wara-Wara dan Shirokiya miliknya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dan pendaftarannya ditolak oleh Dirjen HKI karena merek dan logo tersebut sudah ada yang mendaftarkan atas nama tuan Arifin Siman. Perusahaan Monteroza merasa tuan Arifin Siman sudah meniru keterkenalan dari merek dan logo milik perusahaannya karena tuan Arifin Siman baru mendaftarkan mereknya di Direktorat Jenderal HKI pada tahun 2002, sedangkan Perusahaan Monteroza sudah mendapatkan pengakuan atas merek dan logo wara-wara dan shirokiya sejak tahun 1994 untuk merek wara-wara dan tahun 1998 untuk meek shirokiya berdasarkan hukum negara Jepang. Perusahaan Monteroza pun mendaftarkan merek wara-wara dan shirokiya miliknya dibeberapa negara selain di negara Jepang dan sudah mendapatkan lisensi atas mereknya tersebut dan sudah dikenal dimasyarakat Internasional. Tuan Arifin Siman berpendapat bahwa merek milik Perusahaan Monteroza bukan lah merek terkenal karena merek tersebut didaftarkan dibeberapa negara setelah tahun 2002, artinya merek tersebut terkenal setelah tuan Arifin Siman sudah mendaftarkan mereknya dan mendapatkan pengesahan atas merek wara-wara dan shirokiya milik Arifin Siman dari  Dirjen HKI dan perusahaan Monteroza baru mendaftarkan merek miliknya sebelum tahun 2002 selain dinegara Jepang hanya dinegara Tiongkok pada tanggal 16 Desember 1996 dan Korea pada tanggal 1 September 1998 dan tuan Arifin Siman . Merasa dirugikan karena merek miliknya sudah didaftarkan oleh tuan Arifin Siman, perusahaan Monteroza mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim berpendapat merek milik perusahaan Monteroza baru mempromosikan merek miliknya baru ditahun 2006 dibeberapa negara selain negara Jepang, Tiongkok, dan Korea, artinya merek milik perusahaan Monteroza belumlah terkenal menurut majelis Hakim. Ukuran suatu merek dikelompokkan sebagai merek terkenal yaitu salah satunya adalah merek tersebut didaftarkan minimal di 3(tiga) negara.[14] Berdasarkan kriteria tersebut merek wara-wara dan shirokiya milik perusahaan Monteroza dapat dikelompokkan sebagai merek terkenal.
Dalam kasus sengketa merek antara perusahaan Monteroza dan tuan Arifin Siman, perbuatan tuan Arifin Siman adalah perbuatan beritikad tidak baik dan perbuatan tuan Arifin Siman tidak bisa dibenarkan, majelis Hakim yang memutus perkara tersebut tidak melihat bahwa kriteria merek tersebut terkenal minimal didaftarkan di 3(tiga) negara berbeda dan hanya melihat dari sistem pengakuan merek di Indonesia yang berdasarkan asas first to file saja. Majelis Hakim yang memutus perkara ini tidak mengetahui bahwa kriteria merek terkenal itu salah satunya sudah didaftarkan minimal di 3(tiga) negara berbeda dan sudah dikenal oleh masyarakat Internasional.



[3] Adrian Sutedi, Hak Atas Kekayaan Intelektual, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009),  hlm. 38.
[4]Ibid,  hlm. 39.
[5]Muhamad Djumhana, Djubaedillah, Hak Milik Intelektual (Sejarah, Teori, dan Prakteknya diIndonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 11
[6] http://strikingbrainwave.blogspot.com/2008/05/world-intellectual-property.html
[7] Tim Lindsey Dkk, Hak Milik Intelektual suatu pengantar, cet ke-6, Bandung: PT. Alumni, 2011, hlm. 28-29
[8] http://ibm-binus-7p.blogspot.com/2013/06/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html
[9] Ibid, http://ibm-binus-7p.blogspot.com/2013/06/general-agreement-on-tariffs-and-trade.html
[10] https://hukuminvestasi.wordpress.com/2010/09/16/fungsi-dan-peranan-wto/
[11] http://sulajadech.wordpress.com/2011/06/13/makalah-tentang-merk/
[12] http://mukahukum.blogspot.com/2010/02/pengertian-dan-kriteria-merek-merk.html
[14] Suatu merek dikelompokkan menjadi merek terkenal yaitu salah satunya merek tersebut didaftarkan minimal di 3(tiga) negara yang berbeda,  Pendapat Hendra Tanu Atmadja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar