Kerangka Teoritis
Perlindungan
Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan salah satu implementasi era pasar
bebas bagi negara-negara didunia, khususnya bagi negara Indonesia dan
masyarakat Indonesia agar masyarakat Indonesia dapat menjual produk/karya
ciptaannya ke luar negeri secara bebas. Oleh karena itu, suda selayaknya karya
yang merupakan hasil dari HKI mendapatkan perlindungan hukum yang efektif dari
segala tindak pelanggaran yang tidak sesuai dengan persetujuan TRIPs serta
konvensi-konvensi yang telak disepakati. Salah satu contoh HKI yang harus
dilindungi yaitu merek. Merek merupakan hal yang sangat penting bagi dunia
bisnis. Merek yang sudah menjadi terkenal dan laku di pasar tentu saja akan
cenderung membuat produsen atau pengusaha lainnya memacu produknya bersaing
dengan merek terkenal, bahkan dalam hal ini akhirnya muncul persaingan tidak
sehat. Merek dianggap sebagai roh bagi suatu produk barang dan jasa.[1]
Merek sebagai tanda pengenal dan tanda pembeda dapat menggambarkan jaminan
kepribadian (individuality) dan reputasi barang dan jasa hasil usahanya sewaktu
diperdagangkan. Apabila dilihat dari sudut produsen, merek digunakan sebagai
jaminan hasil produksinya, khususnya mengenai kualitas, disamping untuk promosi
barang-barang dagangannya guna mencari dan meluaskan pasar. Selanjutnya, dari
sisi konsumen merek diperlukan untuk melakukan pilihan-pilihan barang yang akan
dibeli.[2]
Dalam
hukum merek terdapat ajaran atau doktrin persamaan yang timbul berkaitan dengan
dungsi merek, yaitu untuk membedakan antara barang dan jasa yang satu dengan
yang lainnya. Ada dua ajaran persamaan dalam merek, yaitu :[3]
1. Doktrin Persamaan Keseluruhan
Menurut
doktrin persamaan menyeluruh, persamaan merek ditegakkan diatas prinsip
entireties similar yang berarti antara merek yang satu dengan yang lain
mempunyai persamaan yang menyeluruh meliputi semua faktor yang relevan secara
optimal yang menimbulkan persamaan.
2. Doktrin Persamaan Identik
Doktrin
persamaan identik mempunyai pengertian lebih luas dan fleksibel, bahwa untuk
menentukan ada persamaan merek tidak perlu semua unsur secara komulatif sama,
tetapi cukup beberapa unsur atau faktor yang relevan saja yang sama sehingga
terlihat antara dua merek yang diperbandingkan identik atau sangat mirip. Jadi
menurut doktrin ini antara merek yang satu dengan yang lain tetap ada perbedaan
tetapi perbedaan tersebut tidak menonjol dan tidak mempunyai kekuatan pembeda
yang kuat sehingga satu dengan yang lin mirip (similar) maka sudah dikatakan
identik. Doktrin persamaan yang dianut dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
dapat dilihat didalam Pasal 6 UU No. 15/2001.
Kesimpulan
dari doktrin persamaan diatas adalah bahwa suatu merek yang ingin dilindungi
secara hukum harus berbeda artinya tidak memiliki persamaan baik itu secara
keseluruhan maupun tidak secara keseluruhan karena merek yang ingin dilindungi
harus benar-benar berbeda dengan merek manapun baik itu dengan merek biasa,
merek terkenal, dan merek termashyur. Karena apabila suatu merek tidak memiliki
daya pembeda, pihak yang melakukan hal peniruan dianggap sudah membonceng merek
yang sudah ada sebelumnya dan hal tersebut membuat kebingungan dkepada konsumen
karena merek menentukan kualitas dari barang-barang yang diperjual-belikan.
[1]
Insan Budi Maulana, Sukses Bisnis melalui Merek, Paten, dan Hak
Cipta, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 60.
[2]
Wiratmo Dianggoro, “Pembaharuan UU Merek dan dampaknya bagi dunia
bisnis”, Artikel pada jurnal bisnis, Vol 2, 1997, hlm. 34.
[3]
M. Yahya Harahap, Tinjauan Merek secara umum dan Hukum Merek di Indonesia berdasarkan
Undang-Undang No. 19 Tahun 1992,
Bandung : Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 288
Tidak ada komentar:
Posting Komentar