Rabu, 10 Januari 2024

Apakah Anak Angkat berhak Mendapatkan Waris dari Orang Tua Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam

 Warisan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti sesuatu yang diwariskan seperti harta, nama baik, harta pusaka kepada orang-orang yang berhak dan tidak terhalangi oleh hukum untuk mewarisinya.

 

Waris akan terbuka apabila pewaris tersebut telah meninggal dunia, akan tetapi dalam hukum islam, ahli waris sebagaimana Pasal 171 huruf (c) Kompilasi Hukum Islam adalah “Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum menjadi ahli waris”.

 

Dalam beberapa keluarga, apalagi di Indonesia mengangkat seorang anak adalah sesuatu yang lumrah dilakukan oleh sebagian orang dimana pengangkatan anak tersebut dilandasi karena beberapa faktor tentunya.

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam, anak angkat memiliki pengertian sebagaimana Pasal 171 huruf (h) “anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam berdasarkan ketentuan Pasal 174 berbunyi sebagai berikut :

(1)  Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a.    Menurut hubungan darah:

-       golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

-       Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

 

b.    Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

 

(2)  Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.

 

Mengenai bagian-bagian dari para ahli waris terhadap harta maupun hutang dari si pewaris ditentukan dalam Pasal 176 sampai dengan Pasal 191 Kompilasi Hukum Islam.

 

Dalam hal ini, penulis membahas apakah terhadap anak angkat berhak memperoleh bagian warisan dari orang tua angkatnya atau tidak ?

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam, anak angkat berhak memperoleh harta warisan dari si pewaris melalui lembaga Wasiat Wajibah dan hal tersebut diatur dalam Pasal 209 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi “terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

 

Dengan demikian, anak angkat berhak memperoleh harta warisn dari orang tua angkatnya dengan ketentuan tersebut.

 

Demikian artikel ini, apabila ada kritik atau saran, silahkan tulis dikolom komentar. Semoga bermanfaat.

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

 

Dasar Hukum

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Senin, 06 November 2023

Apa itu Cessie

 Cessie adalah pengalihan utang debitur kepada pihak lain dengan persetujuan atau pengakuan dari si debitur itu sendiri, istilah cessie sering dikenal dalam dunia bisnis di Indonesia, dimana pihak kreditur atau si piutang mengalihkan piutangnya kepada pihak lain dan hal tersebut diketahui oleh debitur.

 

Dasar hukum dari Cessie terdapat pada Pasal 613 KUHPerdata yang berbunyi :

Penyerahan piutang-piutang atas nama dan barang-barang lain yang tidak bertubuh, dilakukan dengan jalan membuat akta otentik atau di bawah tangan yang melimpahkan hak-hak atas barang-barang itu kepada orang lain. Penyerahan ini tidak ada akibatnya bagi yang berutang sebelum penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau disetujuinya secara tertulis atau diakuinya. Penyerahan surat-surat utang atas tunjuk dilakukan dengan memberikannya; penyerahan surat utang atas perintah dilakukan dengan memberikannya bersama endosemen surat itu.

 

Biasanya kreditur mengalihkan utang debitur kepada pihak lain dikarenakan sedang membutuhkan dana atau anggaran untuk kepentingan dirinya sendiri, akan tetapi sekalipun sedang membutuhkan dana. Pengalihan utang atau cessie tidak boleh dilakukan tanpa sepengetahuan pihak debitur agar sidebitur tidak berkelit tidak mengetahu pengalihan utang yang memang sudah menjadi kewajibannya terhadap kreditur.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Jumat, 03 November 2023

Apa Itu Roya

 Istilah roya sering didengar ditelinga masyarakat berkaitan dengan tanah biasanya, tetapi secara bahasa pengertian roya dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki arti penghapusan pengikatan suatu agunan berupa tanah sehingga hak kepemilikan atas tanah tersebut kembali kepada pemilik aslinya.

 

Roya sering dikenal berkaitan dengan hak tanggungan terhadap objek tanah, dimana pengaturan mengenai hak tanggungan di Indonesia diatur pada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah yang dijelaskan pada penjelasan umum berbunyi :

“pada buku-tanah Hak Tanggungan yang bersangkutan dibubuhkan catatan mengenai hapusnya hak tersebut, sedang sertipikatnya ditiadakan. Pencatatan serupa, yang disebut pencoretan atau lebih dikenal sebagai "roya", dilakukan juga pada buku-tanah dan sertipikat hak atas tanah yang semula dijadikan jaminan. Sertipikat hak atas tanah yang sudah dibubuhi catatan tersebut, diserahkan kembali kepada pemegang haknya.

 

Sehingga istilah roya yang sering didengar merupakan penghapusan terhadap hak tanggungan yang dibebankan atas objek tanah agar tidak menjadi jaminan atas hutang.

 

Demikian artikel ini, apabila ada saran atau kritik silahkan tulis dikolom komentar, terima kasih.

 

Referensi :

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)

 

Dasar Hukum :

Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan Tanah

Kamis, 02 November 2023

Sanksi Memberikan Keterangan Palsu Dalam Perkara Pidana

 

Kedudukan seorang saksi dalam perkara pidana sangat menentukan selain barang-barang bukti lain yang dihadirkan didalam persidangan. Keterangan saksi dapat memperjelas peristiwa suatu tindak pidana yang tidak dapat diterangkan oleh alat bukti lain. Maka dari itu saat seorang saksi memberikan keterangan di persidangan pidana dapat memberatkan terdakwa atau meringankan terdakwa. Akan tetapi belakangan ini dimedia televisi sedang ramai dibicarakan saksi yang memberikan keterangan palsu didalam persidangan pidana.

 

Padahal saksi tersebut sudah disumpah menurut agama dan keyakinannya. Tujuan saksi disumpah sebelum memberikan keterangannya di persidangan agar saksi tersebut dapat jujur dalam memberikan keterangannya atas apa saja yang saksi ketahui atau saksi alami. Oleh karenannya sangat penting agar saksi tersebut jujur di dalam memberikan kesaksiannya di persidangan karena keterangan nya tersebut berkaitan dengan kemerdekaan seseorang.

 

Didalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, saksi merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana. Oleh karena itu terdapat sanksi hukum bagi saksi yang memberikan keterangan palsu atau tidak benar di persidangan. Apabila saksi yang telah disumpah memberikan keterangan tidak benar. Maka saksi tersebut dapat dikenakan Pasal tentang keterangan palsu atau sumpah palsu yang diatur dalam Pasal 242 KUHP yang berbunyi :

 

1.     Barang siapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan atau tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

 

2.     Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

 

3.     Disamakan dengan sumpah adalah janji atau penguatan diharuskan menurut aturan- aturan umum atau yang menjadi pengganti sumpah.

 

4.     Pidana pencabutan hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 4 dapat dijatuhkan

 

Sehingga saat seorang saksi memberikan kesaksiannya didalam perkara pidana di pengadilan. Saksi tidak boleh seenaknya berbohong atau memberikan keterangan yang tidak benar dari fakta yang sebenarnya yang diketahui atau dialaminya.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

 

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

 

Selasa, 31 Oktober 2023

Praperadilan Tidak Bisa Diajukan Upaya Hukum

 

Praperadilan memiliki pengertian menurut Pasal 1 angka 10 KUHAPadalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

a.    sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

b.    sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;

c.    permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.

 

Pengaturan mengenai Praperadilan diatur oleh Pasal 77 KUHAP yakni mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan yang dipimpin oleh seorang hakim tunggal (Pasal 78 ayat (2) KUHAP) yang mana dalam waktu tujuh hari harus sudah diputus oleh hakim (Pasal 81 ayat (1) butir (c) KUHAP). Upaya hukum praperadilan merupakan upaya hukum yang diberikan oleh negara kepada tersangka untuk memperjuangkan hak-haknya apabila dirasa oleh dirinya ada kejanggalan atau ketidak beresan dalam prosedur sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, penangkapan, penahanan, penyitaan, maupun penetapan tersangka atas dirinya oleh penyidik maupun penuntut umum karena sejatinya penyidik maupun penuntut umum hanyalah manusia biasa dan pastinya ada salahnya.

 

Beberapa tahun belakangan ini semakin banyak orang atau tersangka yang mengajukan upaya praperadilan. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, kewenangan Praperadilan semakin diperluas bukan hanya soal penahanan atau penghentian penyidikan atau penuntutan tetapi diperluas lagi soal penetapan tersangka dan penyitaan. Terhadap Putusan Pra Peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum banding sebagaimana Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP menyatakan Pra Peradilan dapat dimintakan banding apabila mengenai sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan. Walaupun dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP menyatakan putusan pra peradilan dapat dimintakan upaya hukum banding. Sekali lagi Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwasanya Pra peradilan tidak dapat diajukan upaya hukum banding dengan dibatalkannya Pasal 83 ayat (2) KUHAP melalui putusannya Nomor 65/PUU-IX/2011.

 

Walaupun demikian, pengaturan didalam KUHAP tidak menjelaskan apakah upaya hukum praperadilan dapat diajukan upaya hukum Kasasi atau Peninjauan Kembali yang mana hal tersebut menjadi celah hukum untuk mengajukan upaya hukum dari salah satu pihak yang tidak puas terhadap putusan praperadilan yang diperiksa oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama. Dengan demikian apabila putusan praperadilan yang hakikatnya merupakan pemeriksaan peradilan yang cepat karena harus diputus dalam waktu tujuh hari sejak sidang pertama dilakukan. Apabila praperadilan dapat dimintakan upaya hukum tentunya akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Maka dari itu Mahkamah Agung mengeluarkan Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus dalam halaman 56 Tahun 2007 menegaskan menolak Upaya Hukum Kasasi terhadap putusan praperadilan. Sedangkan untuk upaya hukum peninjauan kembali pun tidak dapat dilakukan terhadap putusan praperadilan sebagaimana Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan.

 

Oleh karena itu jelas jika tidak ada upaya hukum apapun terhadap putusan praperadilan dengan alasan apapun dan putusan praperadilan yang dijatuhkan oleh hakim pada pengadilan tingkat pertama merupakan putusan akhir dan mengikat.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Referensi :

Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus dalam halaman 56 Tahun 2007

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014

 

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-IX/2011

 

Perma Nomor 4 Tahun 2016

Minggu, 29 Oktober 2023

Mengalihkan Kendaraaan Kredit Dengan Aman

 

Motor atau Mobil dalam kehidupan sekarang ini sudah masuk kedalam kebutuhan pokok seseorang untuk beraktifitas. Akan tetapi tidak semua orang yang mampu untuk membeli kendaraan bermotor dengan cara cash atau tunai. Kebanyakan orang akan mengangsur atau mengkredit kendaraan tersebut melalui Lembaga Keuangan atau leasing dengan menandatangani perjanjian kredit dimana kendaraan yang diangsur atau dikredit merupakan objek jaminan fidusia kepada leasing.

Namun dalam perjalanannya tidak semua orang dalam membayar angsuran kendaraan berjalan mulus dan sesuai rencana di pemilik kendaraan. Terkadang banyak orang yang tidak ingin rugi karena merasa telah mengeluarkan uang untuk membayar angsuran dan membayar uang muka atas kendaraan yang diangsurnya melakukan kesalahan dengan mengalihkan kendaraan atau take over kepada orang lain tanpa sepengetahuan lembaga pembiayaannya. Padahal kendaraan yang diangsur tersebut bukan sepenuhnya milik orang yang mengangsur, melainkan masih ada hak dari leasing yang membiayai kendaraan tersebut sebelum kendaraan lunas.

Tindakan yang mengalihkan atau biasa dikenal istilah take over kendaraan kepada orang lain atau pihak lain tanpa sepengetahuan dari leasing merupakan hal yang dilarang Sebagaimana Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi Pemberi Fidusia dilarang mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan kepada Pihak lain benda yang menjadi objek jaminan fidusia yang tidak merupakan benda persediaan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia” dan terdapat sanksi bagi orang yang melanggarnya yang disebutkan dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang berbunyi “Pemberi Fidusia yang mengalihkan, atau menyewakan benda yang menjadi objek jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2(dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)”.

Apabila kendaraan yang dialihkan kepada orang lain tanpa sepengetahuan leasing dan kendaraan tersebut hilang atau tidak dibayar angsurannya. Maka leasing akan meminta pertanggung jawaban dari orang yang melakukan penandatangan perjanjian kredit dengan leasing awalnya dan diketahui kendaraan tersebut bukan lagi berada ditangan orang yang melakukan perjanjian kredit dengan leasing. Leasing dapat melaporkan kejadian tersebut ke Kepolisian. Oleh karena itu agar tidak menimbulkan masalah dikemudian harinya, jika ingin melakukan pengalihan atas kendaraan yang masih mengangsur kepada orang lain, haruslah dilakukan dihadapan leasing agar proses pengalihan kendaraan tersebut menjadi aman karena hubungan hukum antara pengangsur pertama dengan leasing sudah tidak ada setelah kendaraan tersebut di oper alih kepada pihak lain dihadapan leasing.

Demikian artikel ini, apabila ada saran dan kritik silahkan tulis dikolom komentar, semoga bermanfaat.

Referensi :

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia

Rabu, 25 Oktober 2023

Seseorang Dapat Kehilangan Haknya Sebagai Ahli Waris

 

Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama islam, tetapi di Indonesia sendiri bukan hanya agama islam saja yang diakui oleh negara. Namun ada beberapa agama lain yang juga di akui di Indonesia. Salah satu hukum yang diatur di Indonesia yakni hukum waris yang mana hukum waris merupakan salah satu hukum yang ada di Indonesia dan pengaturan mengenai waris pun diatur oleh peraturan perundang-undangan baik yang beragama islam maupun non islam.

 

Namun penulis akan membahas Hal yang mengakibatkan seseorang yang terhalang atau kehilangan haknya sebagai ahli waris baik secara kompilasi hukum islam maupun hukum perdata yang diatur di Indonesia. Sebelum membahas hal tersebut, terlebih dahulu perlu mengerti mengenai apa yang dimaksud dengan hukum waris bagi orang yang beragama islam maupun non islam.

 

Menurut Hukum Islam

Hukum waris bagi yang beragama islam diatur dalam Pasal 171 huruf (a), (b), (c), (d), dan (e) Kompilasi Hukum Islam yakni :

Yang dimaksud dengan:

a.    Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapabagiannya masing-masing.

b.    Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan hartapeninggalan.

c.    Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atauhubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untukmenjadi ahli waris.

d.    Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yangmenjadi miliknya maupun hak-haknya.

e.    Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untukkeperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz),pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

 

Dalam huruf (c) Kompilasi Hukum Islam dijelaskan, ahli waris merupakan orang memiliki hubungan darah dengan si pewaris yang beragama islam. Mengenai pembuktian ahli waris tersebut berhak sebagai ahli waris yang sah. Ahli waris tersebut haruslah juga beragama islam sebagaimana Pasal 172 Kompilasi Hukum Islam yakni “Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atauamalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum di\ewasa,beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.”

 

Golongan yang merupakan ahli waris dari si pewaris menurut Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam ialah :

1.  Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:

a.    Menurut hubungan darah:

-     golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.

-     Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.

b.    Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.

 

2.  Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu,janda atau duda.

 

Menurut Hukum Perdata Indonesia

Hukum waris dalam hukum perdata di Indonesia berdasarkan Pasal 830 KUHPerdata pewarisan hanya terjadi karena kematian. Apabila seseorang belum dinyatakan meninggal dunia, maka pewarisan belumlah terjadi. pihak atau orang yang berhak menjadi ahli waris dalam hukum perdata diatur dalam Pasal 832 ayat (1) KUHPerdata yakni “Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga sedarah, baik yang sahmenurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan, dan suami atau isteri yang hidupterlama, menurut peraturan-peraturan berikut ini.”

 

Lebih jauh diatur dalam Pasal 852 KUHPerdata, orang yang berhak menerima warisan ialah Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisiharta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluargasedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin ataukelahiran yang lebih dulu.”

 

Ahli Waris Pengganti

Selain ahli waris yang disebutkan utama merupakan sebagai ahli waris yang utama. Namun terdapat beberapa peristiwa yang menyebabkan ahli waris utama tersebut telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris, akan tetapi ahli waris utama telah memiliki keturunannya sendiri atau ahli waris utama tidak memiliki keuturan sama sekali. Maka anak dari ahli waris utama yang meninggal tersebut disebut sebagai ahli waris pengganti atau apabila tidak memiliki keturunan, yang ahli waris utama tersebut diganti dengan hubungan kesamping. Mengenai ahli waris pengganti, hukum perdata Indonesia mengatur hal tersebut yakni pada Pasal 841 KUHPerdata dan Pasal 842 KUHPerdata. Sedangkan ahli waris dalam artian kesamping diatur dalam Pasal 844 KUHPerdata dan Pasal 845 KUHPerdata.

 

Dalam Kompilasi Hukum Islam, ahli waris pengganti diatur dalam Pasal 185 yakni

(1)  Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

(2)  Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

 

Terlebih lagi ahli waris pengganti menurut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan hanya diakui sampai derajat cucu saja. Jadi mengenai ahli waris pengganti ada batasannya, cicit tidak bisa lagi menjadi ahli waris pengganti.

 

 

Yang Tidak Berhak atau Terhalang Menjadi Ahli Waris

Tidak semua ahli waris yang telah ditetapkan oleh undang-undang dapat baik yang beragama islam maupun non islam akan mendapatkan bagian warisan dari si pewaris. Akan tetapi ada beberapa kategori seseorang tersebut akan kehilangan haknya sebagai ahli waris. Menurut hukum islam, orang yang tidak berhak atau terhalang menjadi ahli waris diatur dalam Pasal 173 Kompilasi Hukum Islam, yang mana kompilasi hukum islam ini hanya mengatur orang yang beragama islam. Sedangkan untuk orang yang beragama non islam, seorang ahli waris terhalang sebagai ahli waris diatur dalam Pasal 838 KUHPerdata.

 

Karena suatu sebab atau hal tertentu, seseorang dapat tidak terhalang menjadi ahli waris sekalipun dirinya merupakan ahli waris yang sah menurut hubungan darah dengan di pewaris.

 

Demikian Artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)

 

Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

 

Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 03 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan

Senin, 23 Oktober 2023

Syarat Seseorang menjadi Advokat

 

Profesi Advokat atau pengacara di ibaratkan merupakan profesi yang mulia atau disebut dengan Officium Nobile. Pengacara atau Advokat merupakan profesi atau pekerjaan yang sering ditemui oleh masyarakat dan dikenal oleh masyarakat karena jumlah Advokat yang saat ini sangat banyak dan tidak terhitung lagi jumlahnya dengan berbagai Organisasi Advokat yang ada di Indonesia.

 

Advokat dan Pengacara merupakan sebuah profesi hukum yang mana sama posisinya dengan Kepolisian, Kejaksaaan, dan Pengadilan yang memiliki hak-hak yang dijamin oleh Peraturan Perundang-Undangan. Akan tetapi tidak semua orang dapat menjadi atau menyandang gelar serta profesi pengacara dikarenakan ada beberapa syarat dan tahapan untuk menjadi seoraang Advokat. Saat ini Profesi Advokat diatur pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat yang mana Pengertian Advokat sesuai ketentuan Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Advokat, “Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang ini”.

 

Sedangkan syarat-syarat seseorang dapat menyandang profesi Advokat sesuai ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat sebagai berikut :

(1)  Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.

(2)  Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat.

(3)  Salinan surat keputusan pengangkatan Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Menteri.

 

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat sebagai berikut :

1)    Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a.  warga negara Republik Indonesia;

b.  bertempat tinggal di Indonesia;

c.   tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara;

d.  berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;

e.  berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1);

f.    lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat;

g.  magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat;

h.  tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;

i.    berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.

 

Kemudian apabila telah melewati tahap pengangkatan yang dilakukan oleh Organisasi Advokat. Maka Calon Advokat haruslah disumpah di Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya sebagaimana ketentuan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Oleh karena itu setelah advokat disumpah di Pengadilan Tinggi barulah Advokat dapat menjalankan profesinya sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

 

Sehingga tahapan untuk menjadi Advokat yakni Mengikuti Ujian dan Pendidikan Advokat, Pengangkatan Advokat, dan Sumpah Advokat.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat.

Jumat, 20 Oktober 2023

Sanksi Bagi Pengusaha Yang Membayar Upah Dibawah Upah Minimum

 

Gaji merupakan hal yang ditunggu-tunggu oleh semua pekerja yang telah bekerja selama sebulan penuh didalam sebuah perusahaan yang mana gaji merupakan sebagai bentuk timbal-balik dari peluh keringat dan loyalitas yang diberikan oleh pekerja kepada perusahaan dimana dia bekerja. Namun masih banyak beberapa kejadian dimana pengusaha atau perusahaan yang membayar gaji para pekerjanya dibawah upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tatkala menghadapi hal yang demikian menyakitkan tersebut banyak dari pekerja yang hanya pasrah dan menerima gaji yang diberikan oleh pengusaha atau perusahaan tersebut karena adanya kebutuhan hidup dan kebutuhan ekonomi yang mengharuskan dipenuhi. Maka dari itu kebanyakan pekerja tidak mempermasalahkan berapa gaji yang diterimanya apakah sudah sesuai dengan upah minimum yang ditetapkan oleh pemerintah atau tidak dan ada sebagian juga pekerja yang melek hukum dan mengetahui hak-hak yang wajib diterima oleh pekerja dari perusahaan.

 

Padahal upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah tersebut sebagai tolak ukur untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja dan keluarganya agar tidak banyak tindak kriminal akibat tidak dapatnya memenuhi kebutuhan ekonomi yang kian hari terus meningkat. Dalam hal tersebut sudah dijamin dalam Konstitusi Negara Republik Indonesia yang tertuang dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.

 

Oleh karena itu, dalam peraturan perundang-undangan Pengusaha dilarang untuk membayar upah pekerja dibawah upah minimum sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 88E ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja jo Pasal 23 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan yang berbunyi “Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum”.

 

Apabila pekerja masih diberikan upah dibawah dari upah minimum yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Pekerja dapat menuntut haknya kepada perusahaan atau pengusaha untuk dibayarkan upahnya sesuai upah minimum yang telah ditetapkan pemerintah yang mana tiap tahun upah minimum tersebut telah diatur oleh pemerintah. Sanksi bagi perusahaan atau pengusaha yang membayar upah pekerja dibawah upah minimum yang telah ditetapkan dan diatur oleh pemerintah dapat dikenakan sanksi Pidana yang tertuang dalam Pasal 185 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja berbunyi “Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah)”.

 

Hal tersebut dinilai sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja atau buruh yang secara nyata diberikan oleh negara dan menjadi rambu-rambu bagi pengusaha agar tidak semena-mena dan sewenang-wenang memberikan gaji atau upah kepada para pekerja atau buruh yang telah bekerja diperusahaannya.

 

Demikian artikel ini, semoga menambah wawasan dan juga bermanfaat.

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan