BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Seorang tersangka/terdakwa berhak
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dan
pada tiap tingkat pemeriksaan demi kepentingan pembelaan (pasal 54 KUHAP), yang
dipilih sendiri olehnya (pasal 55 KUHAP). Selanjutnya tersangka/terdakwa yang
disangka/didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka (pasal 56 ayat (1) KUHAP). Pemberian
bantuan hukum ini diberikan secara cuma-cuma (pasal 56 ayat (2) KUHAP). Hak
atas bantuan hukum juga diatur dalam Pasal 37 UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Bantuan Hukum yang diberikan kepada tersangka atau
terdakwa yang tergolong kurang mampu telah terpenuhi dengan diundangnkannya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Pemberi bantuan hukum
yang dimaksud dalam undang-undang bantuan hukum adalah advokat. Disini jelas
bahwa pemberian bantuan hukum itu sangat penting diperhatikan karna banyak
aspek aspek khususnya dalam hal bantuan hukum ini yang sampai sekarang belum
terpenuhi seperti yang di cita-citakan oleh undang-undang sebagaimana yang di
jelaskan di atas.[1]
Pemberian bantuan hukum dalam rangka
perlindungan hak-hak masyarakat khususnya tersangka atau terdakwa, adalah
merupakan hak dasar masyarakat, yang apabila tidak dipenuhi maka ini merupakan
diskriminasi terhadap hak-hak dasar tersebut, karna diskriminasi merupakan
suatu bentuk ketidakadilan di berbagai bidang yang secara tegas dilarang
berdasarkan UUD 1945. Penegakan hukum melawan perlakuan diskriminatif yang
lahir akibat adanya perbedaan-perbedaan tindakan penegak hukum khususnya di
dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia perlu ditindaklanjuti dengan
arah kebijakan yang mendorong jaminan perlindungan negara terhadap pelaksanaan
hak-hak dasar masyarakat. Bahwa apa yang terjadi sekarang ini adalah bantuan
hukum sebagai hak tersebut agak terasa mahal, atau merupakan barang mahal bagi
sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun dengan diundangkannya undang-undang
bantuan hukum hal tersebut tidak lagi terasa mahal karena tersangka atau
terdakawa yang kurang mampu dapat mendapatkan bantuan hukum secara Cuma-Cuma
atau gratis dari Advokat Profesional baik dalam litigasi dan non litigasi dalam
semua peradilan di Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 4
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum.[2]
Karena yang berhak menerima bantuan hukum secara gratis adalah mereka yang
tergolong tidak mampu untuk memenuhi hak dasar secara layak dan mandiri sesuai
dengan Pasal 5 UU No.16/2011 tentang Bantuan hukum.
Bila dikaitkan dengan persoalan hak
asasi manusia maka penghormatan terhadap hak asasi manusia termasuk
penghormatan terhadap hak asasi tersangka, yang selama ini kurang mendapat
perhatian dari sistem hukum pidana indonesia, apalagi kalau kita lihat dimasa
lampau pada pemberlakuakn H I R (Herziene Inlandsch Reglement) di indonesia
sampai dengan tahun 1981, bahwa masyarakat hukum indonesia telah lama
memperjuangkan dan mencita-citakan suatu hukum acara pidana nasional yang lebih
manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka. Bahwa pemberlakuan tidak
manusiawi, penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan martabat manusia, terutama
orang miskin yang tidak mampu membayar jasa hukum dan pembelaan seorang
Advokat/ Penasehat hukum profesional. Dalam keadan seperti inilah bantuan hukum
diperlukan untuk membela orang miskin agar tidak menjadi korban penyiksaan,
perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan derajat manusia yang dilakukan oleh
penegak hukum. Disini kita mengenal adanya lembaga bantuan hukum, bahwa lembaga
bantuan hukum berfungsi sebagai salah satu subsistem dari sistem peradilan
pidana (Criminal Justice System) yang
dapat memiliki peranan penting dalam membela dan melindungi hak-hak tersangka.
Untuk itu diperlikan suatu proses hukum yang adil (due proces of law) melalui suatu hukum acara pidana nasional yang
lebih manusiawi dan lebih memperhatikan hak-hak tersangka.[3]
Dengan diundangkannya UU No.16/2011 tentang Bantuan Hukum yang mana dalam
undang-undang itu hak-hak tersangka atau terdakwa yang tertindas dan
terdiskriminasi tersebut tidak lagi mendapatkan perlakuan demikian karena
Undang-Undang Bantuan Hukum tersebut tersangka/terdakwa dalam setiap proses
pemeriksaan baik itu ditingkat kepolisian maupun persidangan di Pengadilan akan
didampingi oleh seorang atau lebih Advokat.
Diantara permasalahan yang dihadapi
dalam penerapan bantuan hukum yang merata demi keadilan dan kesejahteraan
rakyat indonesia adalah negara indonesia merupakan negara yang sedang
berkembang sehingga perhatian dan penerapan bantuan hukum khususnya bagi
golongan yang kurang mampu sangat kurang terperhatikan di indonesia. Menurut
penilaian Metzger, bahwa pada dasarnya bantuan hukum pada masyarakat-masyarakat
yang sedang berkembang, mempunyai tujuan yang sama dengan program yang
dilaksanakan pada masyarakat-masyarakat modern. Akan tetapi disamping itu Metzger juga berpendapat bahwa salah
satu tujuan yang penting dari program bantuan hukum adalah untuk mendukung
pembangunan suatu kesatuan sistem hukum nasional. Jadi pemberian bantuan hukum
tidak saja dalam gambaran atau pandangan sempit hanya terhadap tersangka atau
terdakwa saja, namun ada kaitan yang sangat erat dengan tujuan pembangunan
negara indonesia yang ada di dalam Undang-undang dasar, sehingga perlunya bahan
dan informasi yang luas mengenai hal ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun dari bagian latar belakang
tersebut diatas dapat penulis ambil suatu inti permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana
peranan bantuan hukum dalam rangka perlindungan hak asasi tersangka dalam
sistem hukum indonesia ?
2. Apakah
yang menjadi penghalang terlaksananya penerapan bantuan hukum yang merata bagi
tersangka dalam sistem hukumindonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peranan Bantuan
Hukum Dalam Rangka Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Sistem Hukum
Indonesia
Bahwa negara hukum (rechtsstaat) baru akan tercapai kalau
ada pengakuan terhadap demokrasi dan hak asasi manusia. perjuangan masyarakat
hukum indonesia untuk menghukum suatu hukum pidana nasional dapat dikatakan
dimulai sejak tahun 1968 ketika diselenggarakan seminar hukum nasional II.
Istilah bantuan hukum itu sendiri di
pergunakan sebagai terjemahan dari dua istilah “Legal Aid dan Legal
Assistence”, istilah legal Aid
biasanya dipergunakan untuk menunjukan pengertian bantuan hukum dalam arti
sempit berupa pemberian jasa-jasa dibidang hukum kepada seseorang yang terlibat
dalam suatu perkara secara Cuma-Cuma/garatis khususnya bagi mereka yang tidak
mampu dan syarat-syarat bagi penerima bantuan hukum sebagaimana diatur dalam
Pasal 14 UU No.16/2011 yakni salah satunya adalah harus melampirkan Surat
Keterangan Tidak Mampu yang dikeluarkan oleh Kelurahan Penerima Bantuan Hukum
karena dengan Surat tersebut menunjukkan penerima bantuan hukum benar-benar
harus diberikan bantuan hukum secara Cuma-Cuma agar tidak menjadi salah sasaran
bagi penerima bantuan hukum yang sebenarnya harus benar-benar diberikan bantuan
hukum.[4]
Lembaga-lembaga bantuan hukum dibayar atas bantuan hukum yang telah
diberikannya diberikan oleh Negara dengan melaporkan kegiatan-kegiatan bantuan
hukumnya kepada negara melalui Kementerian Hukum dan Ham Republik Indonesia dan
lembaga pemberi bantuan hukum tersebut dapat menggunakan anggaran negara . Pengertian
legal asistance digunakan untuk
menunjukkan pengertian bantuan hukum kepada yang tidak mampu, maupun pemberian
bantuan hukum kepada advokat yang mempunyai honorarium. Dalam tulisan ini
penulis fokus kepada pemberian bantuan hukum didalam perkara pidana. Berbicara
mengenai bantuan hukum, kita tidak bisa lepas dengan istilah penasehat hukum
karena didalam hukum acara pidana memberikan bantuan hukum itu sebagai
penasehat hukum. Sebagaimana ditetapkan undang-undang advokat penasehat hukum
atau sering juga disebut sebagai advokat adalah orang-orang yang berprofesi
memberikan jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi
persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-undang ini. Bantuan hukum ini diberikan
kepada seseorang yang tidak tahu atau kurang mengerti masalah hukum, yang biasa
juga disebut sebagai klien untuk itu ia juga membutuhkan seseorang atau badan
yang mengerti atau ahli tentang masalah hokum yang memberikan jasa secara
Cuma-Cuma pada klien yang tidak mampu.
Menurut Undang-undang hukum acara
pidana bantuan hukum itu merupakan hak dari seseorang bagi setiap tersangka
sebagai terdakwa pada setiap tingkat pemeriksaan semenjak ia di tangkap atau
ditahan berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum atau bantuan hukum dari
seseorang penasehat hukum baik yang ditunjuk oleh Negara maupun dicari sendiri
oleh tersangka atau terdakwa. Bantuan hukum yang merupakan hak dari seorang
tersangka atau terdakwa tersebut diberikan oleh penasehat hukum. Yaitu dengan
cara penasehat hukum menghubungi tersangka menurut cara yang diatur oleh
undang-undang. Penasehat hukum berhak menghubungi tersangka serta berbicara
pada semua tingkat pemeriksaan dimaksudkan adalah untuk kepentingan pembelaan
perkara nanti di persidangan pengadilan.
Penasehat hukum berhak menghubungi
tersangka serta berbicara pada semua tingkat pemeriksaan dimaksudkan adalah
untuk kepentingan pembelaan perkaranya nanti dipersidangan pengadilan. Hubungan
pembicara antara penasehat hukum dengan terdakwa tersebut diberikan setiap
waktu ini sesuai dengan Pasal 70 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
Penasehat hukum berhak menghubungi dan berbicara dengan tersangka pada setiap
tingkat pemeriksaan dan setiap waktu untuk kepentingan pembelaan perkaranya.[5]
Bantuan hukum yang yang diberikan
oleh penasehat hukum kepada seorang tersangka atau terdakwa adalah untuk
kepentingan pembelaan perkaranya nanti didepan persidangan, asal saja hubungan
antara penasehat hukum dengan tersangka tidak disalahgunakan.sebagai contoh
kita tahu bahwa pada zaman kolonial atau zaman penjajahan belanda dahulu
hak-hak asasi seorang terlibat didalam perkara pidana dahulu sering
diinjak-injak, dan dalam arti bahwa jaminan bantuan hukum pada zaman kolonial
dahulu sebagai perlindungan hak asasi tersangka belum ada.
Penasehat hukum dalam rangka
pemberian bantuan hukum kepada seseorang berhak menemui atau berhubungan dengan
orang yang diberinya bantuan hukum itu semenjak awal proses pemeriksaan, bahwa
yang behak memberikan bantun hukum adalah advokat/ pengacara/ penasehat hukum,
baik bersifat perorangan mau yang tergabung didalam wadah profesi penasehat
hukum (LBH/ kantor hukum), yang terdaftar pada Kementerian Hukum dan Ham bagi
Lembaga bantuan hukum dan telah berprofesi selama 5(lima) tahun berturut-turut
dalam dunia Advokat atau Pengacara yang telah disumpah oleh Pengadilan Txinggi.
Bila diperhatikan pula pasal 250 ayat
5 dan 6 HIR : “ Bila sitertuduh diperintah dibawa kemuka pengadilan karena
suatu kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati, dan sitertuduh baik
pemeriksaan oleh jaksa yang ditetapkan dalam ayat 6 Pasal 83, baik kemudian
menyatakan kehendaknya supaya ia pada waktu persidangan dibantu oleh seoraang
sarjana hukum atau ahli hukum lain yang menyatakan bersedia atas pekerjaan.
Penunjukan itu masih juga dilakukan dengan suatu keputusan yang terasing selama
pemeriksaan belum selesai jika tersangkamenyatakan kehendak yang demikian”.
Bila dilihat ketentuan yang terdapat
didalam HIR diatas dapat kita ketahui bahwa pada masa HIR pun sudah ada jaminan
bantuan hukum bagi hak-hak tersangka walaupun dalam tatanan hukum yang
ancamannya sebagai hukuman mati atau pada saat pemeriksa jaksa atau pemeriksaan
di muka persidangan, masih sempitnya hak tersangka atau terdakwa untuk didampingi
penasehat hukum, yaitu pada tatanan yang tertentu saja.
Kalau diliahat didalam tataran hukum
acara sekarang yaitu yang dinaungi KUHAP yaitu didalam Pasal 50 sampai dengan
Pasal 57 KUHAP dapat disimpulkan bahwa hak tersangka atau terdakwa untuk
mendapatkan bantuan hukum dari penasehat hukum dapat diberikan pada setiap
tingkat pemeriksaan dan dalam rangka untuk pemerataan keadilan yang cepat bagi
setiap orang (equality before The Law),
yang dilakukan dengan cepat, murah dan sederhana maka pejabat pada semua
tingkat pemeriksaan wajib menunjuk penasehat hukum bagi tersangka dan terdakwa
yang diancam dengan pidana mati atau pidana lima belas tahun atau lebih dan
penjara lima tahun atau lebih bagi tersangka atau terdakwa yang tidak mampu
yang tidak mempunyai penasehat hukum.[6]
2.2. Yang Menjadi
Penghalang Terlaksananya Penerapan Bantuan Hukum Yang Merata Bagi Tersangka
Dalam Sistem Hukum Indonesia
Dalam hal beracara pada masa
ajudikasi yaitu pada masa persidangan dipengadilan, bahwa terdakwa pada
pemeriksaan pendahuluan dapat meminta bantuan hukum atau didampingi oleh
penasehat hukum, khususnya tersangka atau terdakwa diancam dengan hukuman
sebagaimana yang diatur didalam pasal 56 ayat (1) Bab VI KUHAP, maka bantuan
hukum wajib atau diharuskan atasnya dan apabila dalam hal tersangka atau
terdakwa tidak mampu maka Negara memberikan penesehat hukum baginya, dan
apabila dalam hal diatas terdakwa tidak didampingi oleh penasehat didalam
persidangan pengadilan, maka dakwaan terhadapnya batal demi hukum, namun dalam
prakteknya hal ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Untuk dapat terjaminnya
terpenuhinya hak-hak terpidana tersebut sangat diperlukan adanya program
bantuan hukum yang senantiasa memantau pelaksanaan pemberian hak-hak terpidana
tersebut. Pemberian bantuan hukum pada dasarnya adalah hak asasi semua orang,
yang bukan diberikan oleh negara karena belas kasihan dari negara, hal ini
penting, karena sering kali bantuan hukum diartikan sebagai belas kasihan bagi
yang tidak mampu.[7]
Selain membantu orang miskin bantuan hukum juga merupakan gerakan moral yang
memperjuangkan hak asasi manusia. Oleh karena itu, hak tersebut tidak dapat
dikurangi, dibatasi apalagi diambil, karena itu sebuah keharusan.
Namun dalam prakteknya penerapan
bantuan hukum sebagai belas kasihan negara tersebut belum terealisasi sebagai
mana yang di cita-citakan negara dalam Undang-undangnya, adapun permasalahan
lain mungkin adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang bantuan hukum
sebagai hak-haknya yang harus di penuhi dan juga kurangnya pemberitahuan atau
sosialisasi dari pejabat yang berwenang dalam rangka agar tersangka atau
terdakwa mengetahiu hak-haknya, sehingga kadang terkesan menghalang-halangi
proses pemberian bantuan hukum sebagai hak dari tersangka atau terdakwa, dalam
segala proses pemeriksaan dan dalam segala tingkat peradilan. Pemenuhan hak
atas bantuan hukum terhadap terpidana harus dilakukan oleh Pemerintah sedini
mungkin hal ini untuk mencegah agar tidak ada lagi terpidana yang dirampas
hak-haknya oleh para aparatur penegak hukum misalnya dibanyak kasus yang sering
dijumpai, banyak terpidana yang telah ditahan melebihi masa pidana yang
semestinya dijalani, kekerasan sering muncul dalam lembaga pemasyarakatan
bahkan intensitasnya menjadi sangat tinggi, kekerasan menjadi ritual dan
mengkristal dalam setiap pemeriksaan. Kekerasan berlangsung mulai dari yang
spesifik, halus, tidak terasa sampai pada bentuk kekerasan fisik yang
menimbulkan cacat permanen.
Perilaku ini tidak dibenarkan dalam
aturan tetapi selalu ada dalam pemeriksaan, bahkan tidak jarang terjadi
pelecehan seksual atau perilaku tidak bermoral lainnya. Serta tidak
terpenuhinya hak-hak terpidana sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang.
Pemenuhan hak atas bantuan hukum mempunyai arti bahwa negara harus menggunakan seluruh
sumberdayanya termasuk dalam bidang eksekutif, legislatif dan administratif
untuk mewujudkan hak atas bantuan hukum secara progresif. Negara seharusnya
membuat tindakan dengan membuat kebijakan bantuan hukum dalam perspektif acces
to justice. Sejatinya, sudah seharusnya pemerintah mulai serius dalam membuat
serta menumbuhkan sebuah gerakan bantuan hukum, salah satunya dengan membuat
regulasi yang mampu mangatur secara efektif program bantuan hukum terutama
terhadap si terpidana yang cendrung diabaikan bahkan tidak di acuhkan, Dalam
rangka perhormatan, pengakuan dan penegakan atas hukum dan HAM maka arah
kebijakan ditujukan kepada peningkatan pemahaman, menciptakan penegakan dan
kepastian hukum yang konsisten terhadap nilai-nilai Hak Asasi Manusia dengan
menunjukan perilaku yang adil dan tidak diskriminatif. penyelenggaraan bantuan
hukum yang tidak serius merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berarti
bertentangan dengan hak konstitusional warga negaranya.[8]
Jadi yang menjadi penghalang penerapan
bantuan hukum ini diantaranya juga adanya peranan negara yang kurang
menjalankan kewajibanya, dalam memberikan jaminan atas batuan hukum, jaminan
dalam arti mengawal pelaksanaan hak-hak tersangka atau terdakwa yang terdapat
didalam undang-undang. Jadi walaupun hak-hak atas bantuan hukum ini sudah ada
didalam Undang-undang, tidak semestinya pemerintah lengah terhadap penerapan
bantuan hukum khususnya bagi masyarakat yang tidak mampu.[9]
Disamping adanya faktor penghambatlain yaitu kurangnya kesadaran hukum aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, baik ditingkat penyidikan,
penuntutan, persidangan pengadilan, maupun penerapan hukuman, yang melakukan
tugasnya dengan sewenang-wenang sehingga banyaknya korban dari perlakukan
aparat penegak hukum tersebut.
Penghalang
bantuan hukum dalam UU No.16/2011 ialah bagi masyarakat yang hanya berpura-pura
meminta bantuan hukum namun tidak bisa menunjukkan surat keterangan tidak mampu
dari kelurahan diwilayahnya karena Lurah atau Kelurahan lah yang lebih mengetahui
kondisi masyarakat disekitarnya agar bantuan hukum yang diberikan oleh
lembaga-lembaga bantuan hukum tersebut tidak salah sasaran.
BAB III
P E N U T U P
3.1. KESIMPULAN
Seorang tersangka/terdakwa berhak
mendapatkan bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dan
pada tiap tingkat pemeriksaan demi kepentingan pembelaan (pasal 54 KUHAP), yang
dipilih sendiri olehnya (pasal 55 KUHAP). Selanjutnya tersangka/terdakwa yang
disangka/didakwa melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau
pidana 15 tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang diancam
dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri,
pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan
wajib menunjuk penasihat hukum bagi mereka (pasal 56 ayat (1) KUHAP).
Pemenuhan hak atas bantuan hukum
terhadap terpidana harus dilakukan oleh Pemerintah sedini mungkin hal ini untuk
mencegah agar tidak ada lagi terpidana yang dirampas hak-haknya oleh para
aparatur penegak hukum misalnya dibanyak kasus yang sering dijumpai, banyak
terpidana yang telah ditahan melebihi masa pidana yang semestinya dijalani,
kekerasan sering muncul dalam lembaga pemasyarakatan bahkan intensitasnya
menjadi sangat tinggi, kekerasan menjadi ritual dan mengkristal dalam setiap
pemeriksaan. Kekerasan berlangsung mulai dari yang spesifik, halus, tidak
terasa sampai pada bentuk kekerasan fisik yang menimbulkan cacat permanen dan
dengan adanya bantuan hukum yang secara gratis dari Advokat yang diamanatkan
oleh UU No.16/2011, hal seperti kekerasan yang dialami oleh tersangka ditingkat
penyidikan tidak ada lagi karena apabila tersangka disiksa oleh penyidik. Maka,
penyidik yang melakukan hal tersebut dapat diproses oleh Propam yang mana
hukumannya tidak hanya berupa hukuman administratif saja dan bahkan hukumannya
sampai diberhentikan secara tidak hormat dari kesatuannya.
3.2. SARAN
Untuk dapat terjaminnya terpenuhinya
hak-hak terpidana tersebut sangat diperlukan adanya program bantuan hukum yang
senantiasa memantau pelaksanaan pemberian hak-hak terpidana tersebut. Perilaku
ini tidak dibenarkan dalam aturan tetapi selalu ada dalam pemeriksaan, bahkan
tidak jarang terjadi pelecehan seksual atau perilaku tidak bermoral lainnya,
seharusnya tidak lagi ada dalam setiap tingkat pememeriksaan oleh penegak
hukum, kalau saja hak asasi tersangka atau terdakwa atas bantuan hukum tersebut
terjamin dan dijamin oleh negara Dengan diundangkannya UU No.16 tahun 2011
tentang Bantuan Hukum menjadi solusi penegakan hukum yang lebih terjamin dan
untuk permintaan bantuan hukum secara Cuma-Cuma atau gratis agar lebih
diseleksi lagi agar masyarakat yang tergolong mampu tidak mempersalahgunakan
bantuan hukum secara Cuma-Cuma tersebut dan adil bagi mereka yang benar-benar harus
ditolong.
DAFTAR PUSTAKA
Parulian,
Uli, , 2009Analisis Putusan MK No. 006/PPU-II/2004 Tentang Uji Materil pasal 31
UU Advokat, The Indonesian Legal
Resources Center, Jakarta.
Qomarudin,
2007, Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan Masyarakat Marginal dalam Konteks Hak Asasi
Manusia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta.
Susanto,
F. Anthon, 2004 Realitas Kontrol Dalam Pemeriksaan Pidana, Refika Aditama, Bandung.
Triwibowo,
Darmawan, 2007, Analisa Terhadap Perkembangan & Prospek Bantuan Hukum Structural di Indonesia, Lembaga Bantuan
Hukum Jakarta, Jakarta.
Teguh
Sulistya, Aria Zurnetti, 1996, Bantuan Hukum sebagai Perwujudan Jaminan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Proses
Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum
Yustisia Universitas Andalas, Padang.
Wignjosoebroto,
Soetandyo, 2007, Kebutuhan Warga Masyarakat Miskin Untuk Memperoleh Bantuan Hukum, Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta, Jakarta.
Zurnetti,
Aria, 2003, Modul Bantuan Hukum. Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
UNDANG-UNDANG :
Kitab
Undang-undang Hukum Pidana
Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana
Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
[1]Parulian, Uli, , 2009Analisis Putusan MK No. 006/PPU-II/2004 Tentang
Uji Materil pasal 31 UU Advokat, The Indonesian Legal Resources Center,
Jakarta.
[2] Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
[3]Qomarudin, 2007, Peranan Bantuan Hukum dalam Memajukan Akses Keadilan
Masyarakat Marginal dalam Konteks Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum
Jakarta, Jakarta.
[4] Pasal 14 UU No.16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum
[5]Susanto, F. Anthon, 2004 Realitas Kontrol Dalam Pemeriksaan Pidana,
Refika Aditama, Bandung.
[6]Triwibowo, Darmawan, 2007, Analisa Terhadap Perkembangan & Prospek
Bantuan Hukum Structural di Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta.
[7]Teguh Sulistya, Aria Zurnetti, 1996, Bantuan Hukum sebagai Perwujudan
Jaminan dan Perlindungan Hak Asasi
Manusia dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia, Jurnal Hukum Yustisia
Universitas Andalas, Padang.
[8]Wignjosoebroto, Soetandyo, 2007, Kebutuhan Warga Masyarakat Miskin
Untuk Memperoleh Bantuan Hukum,
Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Jakarta.
[9]Zurnetti, Aria, 2003, Modul Bantuan Hukum. Fakultas Hukum Universitas
Andalas, Padang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar