BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Negara
Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari gugusan pulau-pulau nan
indah yang tersebar luas dimuka bumi ini yang semua kekayaan alamnya dikelola
dan diperuntukkan bagi masyarakat banyak seperti yang diamanatkan dalam
konstitusi dasarnya pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945[1].
Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi pertiwi ini berkaitan dengan semua
dan seluruh kekayaan yang ada baik itu berupa sumber daya alamnya yang mencakup
kandungan mineral maupun tanahnya dan ditegaskan pula dalam Undang-Undang Pokok
Agraria pasal 9 ayat (1) UUPA bahwasanya hanya warganegara Indonesia yang dapat
mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa[2].
Artinya selain warga negara Indonesia tidak berhak memiliki atau menguasai
kekayaan alam yang masih berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan setiap warga negaranya pun diminta untuk berkontribusi dalam
pembangunan nasional, yang mana kontribusi tersebut berupa pemungutan pajak
agar pembangunan nasional berjalan dengan lancar dan sesuai dengan rancangan
yang telah disusun sedemikian rupa dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara.
Pajak
adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan[3].
Sedangkan menurut Negara Prancis yang termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite
de la Science des Finances, 1906 mendefinisikan Pajak adalah Bantuan, baik
secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik
dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja pemerintah[4].
Pajak pula lah yang berperan dalam kegiatan pembangunan nasional Indonesia
karena pembangunan nasional yang ada saat ini dibiayai sebagian besar dari
pendapatan pajak Negara Indonesia yang diambil atau dipungut dari masyarakat
Indonesia baik yang berada didalam negeri maupun yang berada diluar negeri.
Peran
Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini sangatlah sentral dan vital dalam memungut pajak dari masyarakat karena tidak
hanya sebagaian kecil saja dari masyarakat di Indonesia yang sering
memanipulasi pajaknya dengan tidak membayarkan pajaknya dengan benar sesuai
dengan pendapatan yang sebenarnya ia terima. Maka, direktorat jenderal pajak harus
lebih jeli dan teliti lagi dalam menghitung dan menelusuri harta kekayaan yang
dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia agar jangan sampai terdapat harta
yang mencurigakan dalam setiap harta kekayaan warga negara Indonesia baik
berbentuk uang tunai maupun aset. Hal tersebut haruslah terlihat masuk akal dan
sesuai antara profesi yang dijalankan oleh warga negara tersebut dengan aset
yang milikinya saat ini karena jangan sampai aset tersebut didapat dari uang
yang tidak halal atau seperti korupsi yang justru sangat merugikan bagi Negara
Indonesia, yang seharusnya negara mendapatkan keuntungan dari pemungutan pajak
tersebut malah sebaliknya negara dirugikan oleh aktifitas korupsi tersebut.
Namun,
apabila semuanya hanya mengandalkan dari pemerintah saja tanpa adanya dukungan
dari masyarakat yang sangat vital dan berperan kooperatif dalam memperbaiki
laporan pajaknya mengenai aset yang diperoleh atau aset yang didapat tersebut
karena dalam hal pemungutan pajak haruslah adil yang harus diimplementasikan
oleh pembuat undang-undang, jangan sampai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang
terganjal atau terhalangi oleh keadilan yang tidak merata seperti pendapat Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Rhetorica yang menganggap bahwa hukum
bertugas membuat adanya keadilan[5].
Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan
agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata bagi setiap
lapisan-lapisan masyarakat agar tidak muncul persepsi yang mengatakan Pajak
hanya dikenakan kepada masyarakat kecil tetapi pengusaha-pengusaha bisa lepas
dari pajak, artinya yang dimaksud dalam hal
ini adalah para pengusaha tersebut membayar pajak yang tidak seharusnya
dibayarkan olehnya kepada negara.
Sedangkan
dalam sejarahnya, pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara
Cuma-Cuma), tetapi sifat dan kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus
dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat). Ketika itu, rakyat memberikan upetinya
kepada raja atau penguasa dalam bentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil
tanam lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan
rakyat saat itu digunakan untuk keperluan/kepentingan raja atau penguasa
setempat. Sementara, imbalan atau prestasi yang dikembalikkan kepada rakyat
tidak ada karena sifatnya memang hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah
ada tekanan secara psikologis karena status sosial/kedudukan raja yang lebih
tinggi dibandingkan rakyat.[6]
Namun dalam perkembangannya, konsep kerajaan lama-kelamaan berubah menjadi
konsep Negara, dimana negara memungut pajak untuk kepentingan rakyat banyak.
Contohnya seperti Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang pendapatan
terbesar dari Negara Indonesia yakni dari Sektor Pajak dan Pajak merupakan
Salah satu sektor terbesar Pendapatan dari Negara Indonesia. Pajak yang
diterima oleh Negara Indonesia tersebut berasal dari rakyat yang penggunaannya
digunakan untuk rakyat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang dirasakan
oleh rakyat seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis bagi rakyat, dll.
Adapun Pihak yang dimaksud dalam wajib pajak adalah orang
pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan[7]
dan ciri-ciri dari Pajak
itu sendiri antara lain adalah :
1. Pajak
dipungut berdasar peraturan perundangan yang berlaku;
2.
Pajak dipungut oleh
pemerintah, baik pusat maupun daerah;
3.
Pajak tidak menimbulkan
adanya kontra prestasi dari pemerintah secara langsung;
4.
Pajak dipungut untuk
membiayai pengeluaran pemerintah;
Sedangkan,
Pajak digolongkan menurut jenisnya dan sistem pemungutan pajaknya yakni[9]:
1. Menurut Jenisnya
a)
Pajak
Langsung yakni Pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak
(WP) dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara
berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya Pajak Penghasilan.
b)
Pajak
Tidak Langsung adalah Pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain
dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu
saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
2.
Menurut
Sasarannya/objeknya
a)
Pajak
Subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan
keadaan pribadi wajib pajak. Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah
diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak
atau tidak. Misalnya Pajak Penghasilan.
b)
Pajak
Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama
memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa
yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya
barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah
diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai.
Lebih
lanjut, penulis ingin menerangkan mengenai macam-macam tarif pajak yang dikenal
di Indonesia seperti :[10]
1)
Tarif
Progresif (meningkat)
Yakni
tarif pemungutan pajak yang persentasnya makin besar bila jumlah ang dijadikan
dasar pengenaan pajak juga makin besar.
2)
Tarif
Degresif (menurun)
Yakni
tarif pemungutan pajak yang persentasenya makin kecil bila jumlah yang
dijadikan dasar pengenaan pajak makin besar. Sekalipun persentasenya makin
kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bisa
menjadi besar karena jumlah pajak yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga
makin besar.
3)
Tarif
Proporsional (sebanding)
Yakni
tarif yang pemungutan pajaknya menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan
jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
4)
Tarif
Tetap
Yakni
tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan besaran
pajak. Contohnya UU Bea Materai No. 13 tahun 1985 jo PP No. No. 7 tahun 1995 jo
PP No. 24 tahun 2000.
5)
Tarif
Advaloren
Yakni
Tarif yang pemungutan pajaknya berdasarkan persentase tertentu yang ditetapkan
pada harga suatu barang.
6)
Tarif
Spesifik
Yakni
tarif pemungutan pajaknya sesuai dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis
tertentu atau suatu satuan jenis barang tertetnu. Contohnya minuman alkohol.
Salah
satu subjek Pajak yakni Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB), dimana yang lazim
dikenal masyarakat luas dengan singkatan BPHTB tersebut memiliki pengertian
yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan,
yang selanjutnya disebut pajak dan Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan.[11]
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah tersebut merupakan Pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan yang dibelinya
tersebut.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang menjadi objek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan
meliputi apa saja Bea Perolehan hak atas tanah tersebut ?
2. Sebutkan Hak atas Tanah apa saja yang diberikan negara
kepada Masyarakat ?
BAB II
PEMBAHASAN
A)
Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Yang dimaksud
Objek BPHTB sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah
Perolehan Hak atas tanah dan bangunan itu sendiri[12].
BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah
dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas
tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas
tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak
BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah
orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah
Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk
harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih
kecil dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan, maka NJOP PBB dapat
dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB. BPHTB yaitu merupakan pajak yang
harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik,
hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun
dan hak pengelolaan[13]. Suatu pemindahan
hak dapat terjadi karena adanya jual beli, Tukar-menukar, Hibah, Hibah wasiat, Waris,
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, Pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan, Penunjukan pembeli dalam lelang, Pelaksanaan putusan
hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Penggabungan usaha, Peleburan usaha,
Pemekaran usaha, hadiah[14]
dan objek pajak tersebut dapat dikenakan terhadap pemberian hak baru seperti kelanjutan
pelepasan hak di luar pelepasan hak. Kesemua perolehan hak tersebut dikenakan
Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang wajib dibayarkan oleh
Orang Pribadi atau badan hukum sebagai subjek hukum dan dapat dianalogikan
perolehan hak tersebut merupakan aset baik itu orang pribadi maupun badan hukum
yang mengakibatkan aset tersebut menjadi harta yang dimiliki oleh wajib pajak
dan harta tersebut haruslah dilaporkan pajaknya kepada negara agar terhindar
dari dugaan korupsi karena tidak melaporkan harta kekayaannya kepada negara,
yang mana hal tersebut sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku di Indonesia dan hal tersebut merupakan tindakan yang tidak
mendukung pembangunan nasional dalam negeri karena setiap warga negara
diwajibkan mendukung setiap program-program pemerintah dalam rangka
terlaksananya pembangunan nasional secara merata di seluruh wilayah negara
kesatuan Republik Indonesia.
B)
Hak atas tanah yang diberikan Negara kepada Masyarakat
Hak atas tanah
adalah hak yang diberikan oleh negara kepada Masyarakat Indonesia, yang mana
hak tersebut diberikan oleh negara kepada Masyarakat Indonesia sebagai
implementasi terhadap amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mana seluruh
kekayaan alam yang terkandung didalam bumi pertiwi ini digunakan dan
diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Maka, Negara memberikan
hak-hak atas tanah kepada masyarakat Indonesia agar dapat memiliki, mengelola,
menggunakan haknya yang telah diperoleh tersebut sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku agar dapat mendapatkan manfaat dari haknya
tersebut baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya.
Hak atas tanah yang
diberikan negara kepada masyakarat Indonesia antara lain :[15]
a)
hak milik;
b) hak
guna usaha;
c) hak
guna bangunan;
d) hak
pakai;
e) hak
milik atas satuan rumah susun;
f)
hak pengelolaan.
Hak-hak tersebut
merupakan objek pajak yang dikenakan kepada wajib pajak, yang mana hak-hak
tersebut harus dibayarkan pajaknya kepada negara dan harta atau aset tersebut
pajaknya haruslah disetor kepada negara karena perolehan hak tersebut belumlah
sah salah satunya apabila pajak atas harta atau aset tersebut belumlah
dibayarkan kepada negara sebagai bentuk atas sahnya perolehan hak tersebut
karena hak tersebut telah dilaporkan kepada negara.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Pajak Bea
Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan merupakan salah satu pajak yang dikenakan
oleh negara kepada wajib pajak yang mana pajak tersebut dibebankan kepada objek
pajaknya antara lain peralihan hak yang terjadi karena jual beli, Tukar-menukar,
Hibah, Hibah wasiat, Waris, Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, Penunjukan pembeli dalam lelang, Pelaksanaan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Penggabungan usaha, Peleburan
usaha, Pemekaran usaha, hadiah, yang mana hak tersebut dapat beralih atau sah
beralihnya hak tersebut karena pajak berupa bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan telah dilaporkan dan dibayarkan kepada negara sebagai salah satu
bentuk kontribusi wajib pajak dalam pembangunan nasional dan apabila pajaknya
belum dibayarkan atau disetorkan kepada negara.
B.
SARAN
Wajib Pajak
haruslah menyetorkan dan melaporkan pajak bea perolehan hak atas tanah dan
bangunan atas aset atau harta yang diperolehnya sesuai hukum karena salah satu
syarat sahnya suatu peralihan hak atas tanah tersebut haruslah dibayarkan atau
disetorkan pajaknya kepada negara. Penyetoran atau pelaporan pajak tersebut
kepada negara adalah sebagai bentuk terselenggaranya pembangunan nasional yang
merata karena sumber pendapatan tersebut Negara Indonesia dalam Pembangunan
Nasional bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh para wajib pajak.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
R. Santoso
Brotodiharjo, 1998, edisi ketiga, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Bandung.
Wirawan B. Ilyas &
Richard Burton, 2010, edisi kelima,
Hukum Pajak Jakarta.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Dasar 1945
Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok Agraria
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan
CATATAN KULIAH
Catatan Kuliah Mata Kuliah Hukum Pajak Internasional
tanggal 18 Maret 2017, Dosen Pengampu Dewi Anggraeni.
WEBSITE
[3] R. Santoso Brotodiharjo,
Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung; PT. Refika Aditama, 1998), Edisi Ketiga,
hlm. 2.
[4] Ibid, hlm. 3.
[5] R.
Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung; PT. Refika Aditama,
1998), Edisi Ketiga, hlm. 26.
[6] Wirawan B. Ilyas &
Richard Burton, Hukum Pajak (Jakarta; Salemba Empat, 2010) edisi kelima, hlm.
1.
[7] Pasal 1 angka (2) UU No.
28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan.
[9] Wirawan B. Ilyas &
Richard Burton, Hukum Pajak (Jakarta; Salemba Empat, 2010) edisi kelima, hlm.
27-28
[10] Catatan
Kuliah Mata Kuliah Hukum Pajak Internasional tanggal 18 Maret 2017, Dosen
Pengampu Dewi Anggraeni.
[11] Pasal 1 angka (1) dan
(2), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
[12] Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21
Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
[14] Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
[15] Pasal
2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar