Senin, 11 Maret 2019

Analisa Tugas Pajak Internasional Magister


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari gugusan pulau-pulau nan indah yang tersebar luas dimuka bumi ini yang semua kekayaan alamnya dikelola dan diperuntukkan bagi masyarakat banyak seperti yang diamanatkan dalam konstitusi dasarnya pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945[1]. Kekayaan alam yang terkandung didalam bumi pertiwi ini berkaitan dengan semua dan seluruh kekayaan yang ada baik itu berupa sumber daya alamnya yang mencakup kandungan mineral maupun tanahnya dan ditegaskan pula dalam Undang-Undang Pokok Agraria pasal 9 ayat (1) UUPA bahwasanya hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan bumi, air, dan ruang angkasa[2]. Artinya selain warga negara Indonesia tidak berhak memiliki atau menguasai kekayaan alam yang masih berada dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan setiap warga negaranya pun diminta untuk berkontribusi dalam pembangunan nasional, yang mana kontribusi tersebut berupa pemungutan pajak agar pembangunan nasional berjalan dengan lancar dan sesuai dengan rancangan yang telah disusun sedemikian rupa dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan[3]. Sedangkan menurut Negara Prancis yang termuat dalam buku Leroy Beaulieu yang berjudul Traite de la Science des Finances, 1906 mendefinisikan Pajak adalah Bantuan, baik secara langsung maupun tidak langsung yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang untuk menutup belanja pemerintah[4]. Pajak pula lah yang berperan dalam kegiatan pembangunan nasional Indonesia karena pembangunan nasional yang ada saat ini dibiayai sebagian besar dari pendapatan pajak Negara Indonesia yang diambil atau dipungut dari masyarakat Indonesia baik yang berada didalam negeri maupun yang berada diluar negeri.

Peran Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini sangatlah sentral dan vital dalam memungut pajak dari masyarakat karena tidak hanya sebagaian kecil saja dari masyarakat di Indonesia yang sering memanipulasi pajaknya dengan tidak membayarkan pajaknya dengan benar sesuai dengan pendapatan yang sebenarnya ia terima. Maka, direktorat jenderal pajak harus lebih jeli dan teliti lagi dalam menghitung dan menelusuri harta kekayaan yang dimiliki oleh setiap warga negara Indonesia agar jangan sampai terdapat harta yang mencurigakan dalam setiap harta kekayaan warga negara Indonesia baik berbentuk uang tunai maupun aset. Hal tersebut haruslah terlihat masuk akal dan sesuai antara profesi yang dijalankan oleh warga negara tersebut dengan aset yang milikinya saat ini karena jangan sampai aset tersebut didapat dari uang yang tidak halal atau seperti korupsi yang justru sangat merugikan bagi Negara Indonesia, yang seharusnya negara mendapatkan keuntungan dari pemungutan pajak tersebut malah sebaliknya negara dirugikan oleh aktifitas korupsi tersebut.

Namun, apabila semuanya hanya mengandalkan dari pemerintah saja tanpa adanya dukungan dari masyarakat yang sangat vital dan berperan kooperatif dalam memperbaiki laporan pajaknya mengenai aset yang diperoleh atau aset yang didapat tersebut karena dalam hal pemungutan pajak haruslah adil yang harus diimplementasikan oleh pembuat undang-undang, jangan sampai sendi-sendi kehidupan bermasyarakat yang terganjal atau terhalangi oleh keadilan yang tidak merata seperti pendapat Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Rhetorica yang menganggap bahwa hukum bertugas membuat adanya keadilan[5]. Dalam mencari keadilan, salah satu jalan yang harus ditempuh ialah mengusahakan agar supaya pemungutan pajak diselenggarakan secara umum dan merata bagi setiap lapisan-lapisan masyarakat agar tidak muncul persepsi yang mengatakan Pajak hanya dikenakan kepada masyarakat kecil tetapi pengusaha-pengusaha bisa lepas dari pajak, artinya yang dimaksud dalam hal  ini adalah para pengusaha tersebut membayar pajak yang tidak seharusnya dibayarkan olehnya kepada negara.

Sedangkan dalam sejarahnya, pajak pada mulanya merupakan suatu upeti (pemberian secara Cuma-Cuma), tetapi sifat dan kewajiban yang dapat dipaksakan dan harus dilaksanakan oleh rakyat (masyarakat). Ketika itu, rakyat memberikan upetinya kepada raja atau penguasa dalam bentuk natura berupa padi, ternak, atau hasil tanam lainnya seperti pisang, kelapa, dan lain-lain. Pemberian yang dilakukan rakyat saat itu digunakan untuk keperluan/kepentingan raja atau penguasa setempat. Sementara, imbalan atau prestasi yang dikembalikkan kepada rakyat tidak ada karena sifatnya memang hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan secara psikologis karena status sosial/kedudukan raja yang lebih tinggi dibandingkan rakyat.[6] Namun dalam perkembangannya, konsep kerajaan lama-kelamaan berubah menjadi konsep Negara, dimana negara memungut pajak untuk kepentingan rakyat banyak. Contohnya seperti Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang pendapatan terbesar dari Negara Indonesia yakni dari Sektor Pajak dan Pajak merupakan Salah satu sektor terbesar Pendapatan dari Negara Indonesia. Pajak yang diterima oleh Negara Indonesia tersebut berasal dari rakyat yang penggunaannya digunakan untuk rakyat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara yang dirasakan oleh rakyat seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis bagi rakyat, dll. Adapun Pihak yang dimaksud dalam wajib pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan[7] dan ciri-ciri dari Pajak itu sendiri antara lain adalah :
1.      Pajak dipungut berdasar peraturan perundangan yang berlaku;
2.      Pajak dipungut oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah;
3.      Pajak tidak menimbulkan adanya kontra prestasi dari pemerintah secara langsung;
4.      Pajak dipungut untuk membiayai pengeluaran pemerintah;
5.      Pajak berfungsi sebagai pengatur anggaran negara.[8]

Sedangkan, Pajak digolongkan menurut jenisnya dan sistem pemungutan pajaknya yakni[9]:
1.      Menurut Jenisnya
a)      Pajak Langsung yakni Pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak (WP) dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya Pajak Penghasilan.
b)      Pajak Tidak Langsung adalah Pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Pertambahan Nilai.

2.      Menurut Sasarannya/objeknya
a)      Pajak Subjektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan keadaan pribadi wajib pajak. Setelah diketahui keadaan subjeknya barulah diperhatikan keadaan objektifnya sesuai gaya pikul apakah dapat dikenakan pajak atau tidak. Misalnya Pajak Penghasilan.
b)      Pajak Objektif adalah jenis pajak yang dikenakan dengan pertama-tama memperhatikan/melihat objeknya, baik berupa keadaan perbuatan atau peristiwa yang menyebabkan timbulnya kewajiban membayar pajak. Setelah diketahui objeknya barulah dicari subjeknya yang mempunyai hubungan hukum dengan objek yang telah diketahui. Misalnya Pajak Pertambahan Nilai.

Lebih lanjut, penulis ingin menerangkan mengenai macam-macam tarif pajak yang dikenal di Indonesia seperti :[10]
1)      Tarif Progresif (meningkat)
Yakni tarif pemungutan pajak yang persentasnya makin besar bila jumlah ang dijadikan dasar pengenaan pajak juga makin besar.

2)      Tarif Degresif (menurun)
Yakni tarif pemungutan pajak yang persentasenya makin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak makin besar. Sekalipun persentasenya makin kecil, tidak berarti jumlah pajak yang terutang menjadi kecil, tetapi bisa menjadi besar karena jumlah pajak yang dijadikan dasar pengenaan pajaknya juga makin besar.

3)      Tarif Proporsional (sebanding)
Yakni tarif yang pemungutan pajaknya menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.

4)      Tarif Tetap
Yakni tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya tetap tanpa memperhatikan besaran pajak. Contohnya UU Bea Materai No. 13 tahun 1985 jo PP No. No. 7 tahun 1995 jo PP No. 24 tahun 2000.

5)      Tarif Advaloren
Yakni Tarif yang pemungutan pajaknya berdasarkan persentase tertentu yang ditetapkan pada harga suatu barang.

6)      Tarif Spesifik
Yakni tarif pemungutan pajaknya sesuai dengan suatu jumlah tertentu atas suatu jenis tertentu atau suatu satuan jenis barang tertetnu. Contohnya minuman alkohol.

Salah satu subjek Pajak yakni Bea Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB), dimana yang lazim dikenal masyarakat luas dengan singkatan BPHTB tersebut memiliki pengertian yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak dan Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.[11] Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah tersebut merupakan Pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan yang dibelinya tersebut.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang menjadi objek pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan meliputi apa saja Bea Perolehan hak atas tanah tersebut ?

2.      Sebutkan Hak atas Tanah apa saja yang diberikan negara kepada Masyarakat ?


BAB II
PEMBAHASAN

A)    Objek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Yang dimaksud Objek BPHTB sesuai Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas tanah dan bangunan itu sendiri[12].

BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.  DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB. BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan[13]. Suatu pemindahan hak dapat terjadi karena adanya jual beli, Tukar-menukar, Hibah, Hibah wasiat, Waris, Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, Penunjukan pembeli dalam lelang, Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Penggabungan usaha, Peleburan usaha, Pemekaran usaha, hadiah[14] dan objek pajak tersebut dapat dikenakan terhadap pemberian hak baru seperti kelanjutan pelepasan hak di luar pelepasan hak. Kesemua perolehan hak tersebut dikenakan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang wajib dibayarkan oleh Orang Pribadi atau badan hukum sebagai subjek hukum dan dapat dianalogikan perolehan hak tersebut merupakan aset baik itu orang pribadi maupun badan hukum yang mengakibatkan aset tersebut menjadi harta yang dimiliki oleh wajib pajak dan harta tersebut haruslah dilaporkan pajaknya kepada negara agar terhindar dari dugaan korupsi karena tidak melaporkan harta kekayaannya kepada negara, yang mana hal tersebut sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan hal tersebut merupakan tindakan yang tidak mendukung pembangunan nasional dalam negeri karena setiap warga negara diwajibkan mendukung setiap program-program pemerintah dalam rangka terlaksananya pembangunan nasional secara merata di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

B)    Hak atas tanah yang diberikan Negara kepada Masyarakat
Hak atas tanah adalah hak yang diberikan oleh negara kepada Masyarakat Indonesia, yang mana hak tersebut diberikan oleh negara kepada Masyarakat Indonesia sebagai implementasi terhadap amanat dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang mana seluruh kekayaan alam yang terkandung didalam bumi pertiwi ini digunakan dan diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia itu sendiri. Maka, Negara memberikan hak-hak atas tanah kepada masyarakat Indonesia agar dapat memiliki, mengelola, menggunakan haknya yang telah diperoleh tersebut sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku agar dapat mendapatkan manfaat dari haknya tersebut baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk keluarganya.
Hak atas tanah yang diberikan negara kepada masyakarat Indonesia antara lain :[15]
a)      hak milik;
b)      hak guna usaha;
c)      hak guna bangunan;
d)     hak pakai;
e)      hak milik atas satuan rumah susun;
f)       hak pengelolaan.

Hak-hak tersebut merupakan objek pajak yang dikenakan kepada wajib pajak, yang mana hak-hak tersebut harus dibayarkan pajaknya kepada negara dan harta atau aset tersebut pajaknya haruslah disetor kepada negara karena perolehan hak tersebut belumlah sah salah satunya apabila pajak atas harta atau aset tersebut belumlah dibayarkan kepada negara sebagai bentuk atas sahnya perolehan hak tersebut karena hak tersebut telah dilaporkan kepada negara.


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Pajak Bea Perolehan hak atas Tanah dan Bangunan merupakan salah satu pajak yang dikenakan oleh negara kepada wajib pajak yang mana pajak tersebut dibebankan kepada objek pajaknya antara lain peralihan hak yang terjadi karena jual beli, Tukar-menukar, Hibah, Hibah wasiat, Waris, Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, Penunjukan pembeli dalam lelang, Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, Penggabungan usaha, Peleburan usaha, Pemekaran usaha, hadiah, yang mana hak tersebut dapat beralih atau sah beralihnya hak tersebut karena pajak berupa bea perolehan hak atas tanah dan bangunan telah dilaporkan dan dibayarkan kepada negara sebagai salah satu bentuk kontribusi wajib pajak dalam pembangunan nasional dan apabila pajaknya belum dibayarkan atau disetorkan kepada negara.

B.     SARAN
Wajib Pajak haruslah menyetorkan dan melaporkan pajak bea perolehan hak atas tanah dan bangunan atas aset atau harta yang diperolehnya sesuai hukum karena salah satu syarat sahnya suatu peralihan hak atas tanah tersebut haruslah dibayarkan atau disetorkan pajaknya kepada negara. Penyetoran atau pelaporan pajak tersebut kepada negara adalah sebagai bentuk terselenggaranya pembangunan nasional yang merata karena sumber pendapatan tersebut Negara Indonesia dalam Pembangunan Nasional bersumber dari pajak yang dibayarkan oleh para wajib pajak.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU
R. Santoso Brotodiharjo, 1998, edisi ketiga, Pengantar Ilmu Hukum Pajak,
Bandung.

Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, 2010, edisi kelima,
Hukum Pajak Jakarta.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok Agraria
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan

CATATAN KULIAH
Catatan Kuliah Mata Kuliah Hukum Pajak Internasional tanggal 18 Maret 2017, Dosen Pengampu Dewi Anggraeni.

WEBSITE




[1] Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
[2] Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan dasar pokok-pokok Agraria.
[3] R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung; PT. Refika Aditama, 1998), Edisi Ketiga, hlm. 2.
[4] Ibid, hlm. 3.
[5] R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, (Bandung; PT. Refika Aditama, 1998), Edisi Ketiga, hlm. 26.
[6] Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak (Jakarta; Salemba Empat, 2010) edisi kelima, hlm. 1.
[7] Pasal 1 angka (2) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan tata cara perpajakan.
[8] https://saripedia.wordpress.com/tag/macam-macam-pajak/, diaksek pada tanggal 30 Maret 2017
[9] Wirawan B. Ilyas & Richard Burton, Hukum Pajak (Jakarta; Salemba Empat, 2010) edisi kelima, hlm. 27-28
[10] Catatan Kuliah Mata Kuliah Hukum Pajak Internasional tanggal 18 Maret 2017, Dosen Pengampu Dewi Anggraeni.
[11] Pasal 1 angka (1) dan (2), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
[12] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.
[14] Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
[15] Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar