Minggu, 04 Juni 2023

Kewenangan Peradilan Agama

 Di Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam sistem hukumnya terdapat 4(empat) badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung sebagai Pemegang Kekuasaan Tertinggi Lembaga Yudikatif, yang mana 4(empat) badan Peradilan tersebut memiliki tugas dan fungsi masing-masing dalam memberikan kepastian hukum kepada warga negara Indonesia ataupun bagi orang asing yang berada di Negara Indonesia.

 

Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai kewenangan Badan Peradilan Agama, dimana Peradilan Agama hanya diperuntukkan bagi orang-orang yang beragama islam di Indonesia dan peraturan mengenai Peradilan Agama telah beberapa kali di ubah mulai dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama dan diubah kembali dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

 

Mengenai dasar hukum kewenangan Peradilan Agama diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yakni :

 

Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:

 

a. perkawinan;

b. waris;

c. wasiat;

d. hibah;

e. wakaf;

f. zakat;

g. infaq;

h. shadaqah; dan

i. ekonomi syari'ah.

 

Demikian Artikel ini, semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum :

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

Upaya Hukum Verzet

 

Verzet atau perlawanan merupakan upaya hukum yang diberikan kepada Tergugat dalam perkara Perdata yang mana upaya hukum verzet dapat dilakukan terhadap putusan verstek yang dinilai oleh Tergugat sangat merugikan bagi dirinya tersebut karena Tergugat pada sidang yang dijatuhi dengan putusan verstek tidak hadir atau tidak menunjuk kuasanya untuk mewakili dirinya dalam suatu perkara.

 

Dasar hukum upaya hukum Verzet dapat dilihat dalam Pasal 129 ayat (2) HIR yang berbunyi :

 

Jika keputusan hakim itu diberitahukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka perlawanan itu hanya boleh diterima dalam empat belas hari sesudah pemberitahuan itu. Jika keputusan hakim itu diberitahukan bukan kepada orang yang kalah itu sendiri, maka perlawanan itu boleh diterima sampai pada hari kedelapan sesudah teguran tersebut pada pasal 196, atau dalam hal ia tidak menghadap sesudah dipanggil dengan patut, sampai pada hari kedelapan sesudah dijalankan surat perintah ketua tersebut pada pasal 197. (RV. 83.)

 

Upaya hukum verzet setelah ada putusan verstek adalah selama 14 (empat belas) hari sesudah pemberitahuan putusan diberikan kepada Tergugat. Selain HIR atauKitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, terdapat Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang dapat dijadikan sumber hukum dalam upaya hukum Verzet diantaranya :

 

Putusan MA No. 494K/Pdt/1983 mengatakan dalam proses verzet atas verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai Penggugat (Yahya Harahap, Hukum acara Perdata, hal. 407)

 

Putusan MA No. 938K/Pdt/1986 yang kaidahnya Substansi verzet terhadap putusan verstek, harus ditujukan kepada isi pertimbangan putusan dan dalil gugatan terlawan/penggugat asal dan Verzet yang hanya mempermasalahkan alasan ketidakhadiran pelawan/tergugat asal menghadiri persidangan, tidak relevan, karena forum untuk memperdebatkan masalah itu sudah dilampaui

 

Maka apabila Tergugat yang ingin mengajukan upaya hukum verzet terhadap putusan verstek dapat dilakukan apabila tidak melampaui waktu yang telah ditetapkan dalam Hukum Acara Perdata.

 

Demikian artikel ini, semoga bermanfaat.

 

 

Dasar Hukum :

 

HIR

 

Putusan MA No. 494K/Pdt/1983

 

Putusan MA No. 938K/Pdt/1986